Tradisi perang pandan atau yang sering disebut mekare-kare di Desa Tenganan dilakukan oleh para pemuda dengan memakai kostum/kain adat tenganan, bertelanjang dada bersenjatakan seikat daun pandan berduri dan perisai untuk melindungi diri. Tradisi ini berlangsung setiap tahun sekitar bulan Juni, biasanya selama 2 hari.Perang pandan diawali dengan ritual upacara mengelilingi desa untuk memohon keselamatan,
setelah itu perang pandan dimulai dan kemudian ditutup persembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan menghaturkan tari Rejang.
Bali hingga kini tetap melestarikan atraksi kuno yang menyuguhkan pemandangan kontras. Salah satu sisinya menampilkan atraksi menegangkan para pengunjung. Pasangan pria yang masing-masing dilengkapi perisai anyaman dan bersenjata seberkas potongan daun pandan berduri beradu ketangkasan untuk saling melukai lawannya.
Duri pandan yang tertancap dalam atau merobek daging tubuh disusul cucuran darah segar adalah risiko bagi pelaga yang tidak tangkas menangkis. Namun, dari atraksi itu pengunjung juga disuguhi pemandangan kontras. Aksi saling melukai tersebut justru dilakukan sambil mengembangkan senyum ceria. Bahkan, tidak sedikit pasangan tanpa menggunakan tameng langsung berpelukan dan saling melukai.Atraksi saling melukai dengan wajah senyum ceria itu dikenal bernama perang pandan. Di Bali, perang pandan adalah atraksi khas masyarakat Tenganan di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, ujung timur Pulau Dewata. Jarak komunitas ini sekitar 70 kilometer dari Kota Denpasar atau membutuhkan waktu lebih kurang 70 menit dengan kendaraan roda empat.
Masyarakat Tenganan, sebagai ahli waris tradisi kuno itu, sejak lama selalu setia mementaskan perang pandan. Tradisi itu biasanya dilaksanakan sekitar pertengahan Juni. Seperti disaksikan, ribuan pengunjung seakan tumpah ke Kampung Bali Aga itu. Mereka berasal dari berbagai perkampungan di Bali, Jawa, dan daerah lainnya. Juga tidak sedikit di antaranya adalah wisatawan asing dari Eropa, Jepang, Taiwan, dan berbagai negara lainnya.Karena merupakan tradisi khas milik Tenganan, tempat pelaksanaannya pun hanya di kawasan tersebut. Persisnya di Tenganan Pegringsingan (TP) dan Tenganan Dauh Tukad (TDT), dua desa adat bertetangga rapat yang hanya dibatasi alur sungai.Namun, perang pandan di TDT sejak tahun lalu terpaksa batal dilaksanakan karena kampung yang hancur akibat gempa dahsyat tanggal 2 Januari 2004, hingga kini belum sepenuhnya pulih.
Sesungguhnya, TP dan TDT adalah pemekaran dari induk yang sama, Desa Adat Tenganan. Namun, belakangan, hanya desa dinas (pemerintah) yang tetap bertahan dengan satu kesatuan wilayah Tenganan seluruhnya. Sementara desa adatnya telah mekar menjadi dua wilayah tersebut, entah sejak kapan.Tenganan sendiri, meski merupakan satu kesatuan wilayah desa dinas (pemerintah), sebenarnya lebih dikenal sebagai Bali Aga, sebutan untuk kampung sekaligus warga penghuninya yang asli Bali. Seperti telah disebutkan, Bali Aga Tenganan meliputi desa adat TP dan TDT.
Di Bali setidaknya masih menyisakan dua wilayah perkampungan yang disebut sebagai Bali Aga. Satu kampung Bali Aga lainnya adalah Terunyan di Kabupaten Bangli. Terunyan termasuk dalam wilayah Kecamatan Kintamani, persisnya terletak di tepi timur Danau Batur, atau sebelah barat kaki Bukit Abang.Apa kekhasan Bali Aga Terunyan dan Tenganan? Warga Terunyan dan Tenganan, seperti mayoritas warga Bali lainnya, adalah pemeluk Hindu. Bedanya, Bali Aga tidak mengenal kasta dalam strata kehidupan masyarakatnya serta tidak mengenal tradisi kremasi atau pembakaran mayat. Komunitas Bali Aga juga hanya mengakui sebagai keturunan langsung dari India, bukan turunan Majapahit (Jawa, 1294-1478) yang menaklukkan Bali abad XIV.
Selain itu, kedua perkampungan Bali Aga masih menyimpan kekhasan masing-masing. Sebagai contoh di Terunyan, mayat-mayat tidak dikuburkan. Setiap ada warga yang meninggal, mayatnya hanya ditutup dengan kain putih. Selanjutnya didindingi dengan ancak saji (rangkaian anyaman bambu) lalu diletakkan di bawah pohon kemenyan.
Sementara Bali Aga Tenganan masih dengan kekhasan khusus lagi. Salah satu di antaranya adalah perang pandan tadi. Keunikan lainnya adalah dari rangkaian upacara adat dan agamanya. Sebut saja misalnya upacara bernama medaha (seremoni akil balik bagi gadis-gadis yang beranjak dewasa) atau teruna bagi kaum remajanya. Ada lagi rangkaian upacara keagamaan yang disebut saseh kasa, saseh karo, saseh katiga, dan saseh kapat.
Masih di Tenganan, sebagian bangunan rumah atau pagar kampungnya tetap bertahan dengan konstruksi kuno, yakni dari bata. Namun, berbeda dengan bata umumnya, bata bahan bangunan di Tenganan proses pembuatannya tidak melalui pembakaran. Pemasangannya pun tanpa perekat semen. Perekatnya adalah lumpur tanah bahan bata itu sendiri. Proses pemasangannya juga tidak serempak. Setidaknya melewati tiga tahap atau membutuhkan waktu jeda sekitar sembilan hari untuk pemasangan lanjutannya.
Kembali ke atraksi perang pandan yang menyuguhkan pemandangan kontras. perang pandan di Tenganan tak ada duanya .di Bali atau daerah lainnya. Atraksi itu merupakan salah satu kekhasan kampung ini sehingga harus terus dipertahankan dan dilestarikan.Perang pandan bukanlah atraksi yang akan berakhir dengan posisi kalah atau menang bagi para pelaganya. Atraksi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra. Sang dewa perang itu dihormati dengan darah sehingga atraksi perang pandan dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.
Pemujaan terhadap Dewa Indra ini juga ternyata menyimpan kisah unik, setidaknya di lingkungan masyarakat Tenganan—entah di TP atau TDT. Merujuk mitologinya, kawasan Tenganan dan sekitarnya di waktu silam diyakini berada di bawah kekuasaan seorang raja yang lalim dan otoriter.Raja kejam dan lalim bernama Maya Denawa itu, menurut kisahnya, bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual keagamaan. Menyaksikan perilaku Maya Denawa yang semakin kejam dan bengis, para dewa di surga pun murka, yang selanjutnya mengutus Dewa Indra dengan tugas khusus memimpin pertempuran melawan Maya Denawa. Melalui pertempuran sengit, Maya Denawa dapat dilumpuhkan dan Dewa Indra lalu tampil sebagai penggantinya.
Sementara sumber lain menggambarkan, Tenganan diyakini berasal dari zaman Raja Bedahulu, jauh sebelum Bali ditaklukkan Majapahit sekitar abad XIV. Desa asli Bali ini menurut catatan sejarahnya pernah tertimpa kebakaran hebat tahun 1841. Bersama rumah dan harta lainnya, kebakaran juga memusnahkan dokuman awig-awig atau aturan desa adatnya.Awig-awig penggantinya yang menjadi panduan masyarakat adatnya hingga sekarang adalah dokumen baru hasil karya para tetua leluhur Tenganan, tahun 1842. Penyusunan awig-awig baru ini dilakukan para tetua setelah mereka memperoleh restu dari Raja Klungkung dan Raja Karangasem saat itu.
setelah itu perang pandan dimulai dan kemudian ditutup persembahyangan di Pura setempat dilengkapi dengan menghaturkan tari Rejang.
Bali hingga kini tetap melestarikan atraksi kuno yang menyuguhkan pemandangan kontras. Salah satu sisinya menampilkan atraksi menegangkan para pengunjung. Pasangan pria yang masing-masing dilengkapi perisai anyaman dan bersenjata seberkas potongan daun pandan berduri beradu ketangkasan untuk saling melukai lawannya.
Duri pandan yang tertancap dalam atau merobek daging tubuh disusul cucuran darah segar adalah risiko bagi pelaga yang tidak tangkas menangkis. Namun, dari atraksi itu pengunjung juga disuguhi pemandangan kontras. Aksi saling melukai tersebut justru dilakukan sambil mengembangkan senyum ceria. Bahkan, tidak sedikit pasangan tanpa menggunakan tameng langsung berpelukan dan saling melukai.Atraksi saling melukai dengan wajah senyum ceria itu dikenal bernama perang pandan. Di Bali, perang pandan adalah atraksi khas masyarakat Tenganan di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, ujung timur Pulau Dewata. Jarak komunitas ini sekitar 70 kilometer dari Kota Denpasar atau membutuhkan waktu lebih kurang 70 menit dengan kendaraan roda empat.
Masyarakat Tenganan, sebagai ahli waris tradisi kuno itu, sejak lama selalu setia mementaskan perang pandan. Tradisi itu biasanya dilaksanakan sekitar pertengahan Juni. Seperti disaksikan, ribuan pengunjung seakan tumpah ke Kampung Bali Aga itu. Mereka berasal dari berbagai perkampungan di Bali, Jawa, dan daerah lainnya. Juga tidak sedikit di antaranya adalah wisatawan asing dari Eropa, Jepang, Taiwan, dan berbagai negara lainnya.Karena merupakan tradisi khas milik Tenganan, tempat pelaksanaannya pun hanya di kawasan tersebut. Persisnya di Tenganan Pegringsingan (TP) dan Tenganan Dauh Tukad (TDT), dua desa adat bertetangga rapat yang hanya dibatasi alur sungai.Namun, perang pandan di TDT sejak tahun lalu terpaksa batal dilaksanakan karena kampung yang hancur akibat gempa dahsyat tanggal 2 Januari 2004, hingga kini belum sepenuhnya pulih.
Sesungguhnya, TP dan TDT adalah pemekaran dari induk yang sama, Desa Adat Tenganan. Namun, belakangan, hanya desa dinas (pemerintah) yang tetap bertahan dengan satu kesatuan wilayah Tenganan seluruhnya. Sementara desa adatnya telah mekar menjadi dua wilayah tersebut, entah sejak kapan.Tenganan sendiri, meski merupakan satu kesatuan wilayah desa dinas (pemerintah), sebenarnya lebih dikenal sebagai Bali Aga, sebutan untuk kampung sekaligus warga penghuninya yang asli Bali. Seperti telah disebutkan, Bali Aga Tenganan meliputi desa adat TP dan TDT.
Di Bali setidaknya masih menyisakan dua wilayah perkampungan yang disebut sebagai Bali Aga. Satu kampung Bali Aga lainnya adalah Terunyan di Kabupaten Bangli. Terunyan termasuk dalam wilayah Kecamatan Kintamani, persisnya terletak di tepi timur Danau Batur, atau sebelah barat kaki Bukit Abang.Apa kekhasan Bali Aga Terunyan dan Tenganan? Warga Terunyan dan Tenganan, seperti mayoritas warga Bali lainnya, adalah pemeluk Hindu. Bedanya, Bali Aga tidak mengenal kasta dalam strata kehidupan masyarakatnya serta tidak mengenal tradisi kremasi atau pembakaran mayat. Komunitas Bali Aga juga hanya mengakui sebagai keturunan langsung dari India, bukan turunan Majapahit (Jawa, 1294-1478) yang menaklukkan Bali abad XIV.
Selain itu, kedua perkampungan Bali Aga masih menyimpan kekhasan masing-masing. Sebagai contoh di Terunyan, mayat-mayat tidak dikuburkan. Setiap ada warga yang meninggal, mayatnya hanya ditutup dengan kain putih. Selanjutnya didindingi dengan ancak saji (rangkaian anyaman bambu) lalu diletakkan di bawah pohon kemenyan.
Sementara Bali Aga Tenganan masih dengan kekhasan khusus lagi. Salah satu di antaranya adalah perang pandan tadi. Keunikan lainnya adalah dari rangkaian upacara adat dan agamanya. Sebut saja misalnya upacara bernama medaha (seremoni akil balik bagi gadis-gadis yang beranjak dewasa) atau teruna bagi kaum remajanya. Ada lagi rangkaian upacara keagamaan yang disebut saseh kasa, saseh karo, saseh katiga, dan saseh kapat.
Masih di Tenganan, sebagian bangunan rumah atau pagar kampungnya tetap bertahan dengan konstruksi kuno, yakni dari bata. Namun, berbeda dengan bata umumnya, bata bahan bangunan di Tenganan proses pembuatannya tidak melalui pembakaran. Pemasangannya pun tanpa perekat semen. Perekatnya adalah lumpur tanah bahan bata itu sendiri. Proses pemasangannya juga tidak serempak. Setidaknya melewati tiga tahap atau membutuhkan waktu jeda sekitar sembilan hari untuk pemasangan lanjutannya.
Kembali ke atraksi perang pandan yang menyuguhkan pemandangan kontras. perang pandan di Tenganan tak ada duanya .di Bali atau daerah lainnya. Atraksi itu merupakan salah satu kekhasan kampung ini sehingga harus terus dipertahankan dan dilestarikan.Perang pandan bukanlah atraksi yang akan berakhir dengan posisi kalah atau menang bagi para pelaganya. Atraksi ini adalah bagian dari ritual pemujaan masyarakat Tenganan kepada Dewa Indra. Sang dewa perang itu dihormati dengan darah sehingga atraksi perang pandan dilakukan tanpa rasa dendam, atau bahkan dengan senyum ceria, meski harus saling melukai dengan duri pandan.
Pemujaan terhadap Dewa Indra ini juga ternyata menyimpan kisah unik, setidaknya di lingkungan masyarakat Tenganan—entah di TP atau TDT. Merujuk mitologinya, kawasan Tenganan dan sekitarnya di waktu silam diyakini berada di bawah kekuasaan seorang raja yang lalim dan otoriter.Raja kejam dan lalim bernama Maya Denawa itu, menurut kisahnya, bahkan menjadikan dirinya sebagai Tuhan dan melarang orang Bali melakukan ritual keagamaan. Menyaksikan perilaku Maya Denawa yang semakin kejam dan bengis, para dewa di surga pun murka, yang selanjutnya mengutus Dewa Indra dengan tugas khusus memimpin pertempuran melawan Maya Denawa. Melalui pertempuran sengit, Maya Denawa dapat dilumpuhkan dan Dewa Indra lalu tampil sebagai penggantinya.
Sementara sumber lain menggambarkan, Tenganan diyakini berasal dari zaman Raja Bedahulu, jauh sebelum Bali ditaklukkan Majapahit sekitar abad XIV. Desa asli Bali ini menurut catatan sejarahnya pernah tertimpa kebakaran hebat tahun 1841. Bersama rumah dan harta lainnya, kebakaran juga memusnahkan dokuman awig-awig atau aturan desa adatnya.Awig-awig penggantinya yang menjadi panduan masyarakat adatnya hingga sekarang adalah dokumen baru hasil karya para tetua leluhur Tenganan, tahun 1842. Penyusunan awig-awig baru ini dilakukan para tetua setelah mereka memperoleh restu dari Raja Klungkung dan Raja Karangasem saat itu.
0 Comments to "Perang Pandan"