Menyebut Trunyan, ingatan langsung pada sebuah desa kecil yang letaknya terpencil di tepi Danau Batur dan di kaki Bukit Abang. Terbayang pula suasana kehidupan masyarakat Bali tempo dulu dengan tradisi kuat menyelimuti desa ini.
Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli.
Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga, Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik Bali Aga, berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Kebudayaan orang Trunyan mencerminkan satu pola kebudayaan petani yang konservatif.
Berdasarkan folk etimologi, penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Berdasarkan folk etimologi, penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Pohon ini, menurut kepercayaan masyarakat kami di Trunyan, menyerap bau busuk sehingga meskipun mayat dibiarkan tanpa dikubur, tidak ada bau busuk tercium. Pohon ini dikenal sebagai Taru Menyan .Taru Menyan sendiri diyakini sebagai asal mula nama Desa Trunyan. Konon, pohon ini pernah menyebarkan bau sangat harum. Keharumannya inilah yang menyerap bau busuk mayat-mayat di kuburan ini. Jangan pernah mengambil barang-barang yang ada di sini. Barang-barang itu milik orang-orang yang dikubur di sini.
Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir danau Batur, letak ini sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan ke desa Trunyan orang harus menyeberang danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan perahu lesung yang digerakkan dengan dayung. Selain jalan air, Trunyan juga dapat dicapai lewat darat, lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang.
Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17 derajat Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan ukuran panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber kehidupan agraris masyarakat Bali selatan dan timur.
Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
2. Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Untuk keperluan pemakaman, di desa Trunyan terdapat 3 kuburan yaitu:
1.Sema wayah diperuntukkan untuk pemakaman jenis mepasah
2.Sema bantas, diperuntuukan untuk dengan penguburan.
3.Sema nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu mepasah (exposure) maupun penguburan.
Keunikan lainnya adalah peninggalan purbakala, Prasasti Trunyan. Tersebutlah pada tahun Saka 813 (891 Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun kuil. Kuil berupa bangunan bertingkat tujuh ini merupakan tempat pemujaan Bhatara Da Tonta.
Kuil bertingkat tujuh ini dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan arca batu Megalitik yang dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan sebagai arca Da Tonta. Dikenal pula sebagai Pura Pancering Jagat sebagai istana Ratu Gede Pancering Jagat.
Setiap dua tahun sekali di pura ini digelar upacara besar. Tepatnya pada Purnama Sasih Kapat. Masyarakat Trunyan merayakannya dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk dan tari Sanghyang Dedari. “Sayangnya, tarian Sanghyang Dedari kini sudah punah, tidak ada lagi yang menarikannya.
Desa Trunyan memiliki lima banjar, yang letaknya relatif berjauhan. Pusat desa ini adalah Trunyan, sebuah perkampungan yang terletak di tepi timur Danau Batur, sekitar 45 menit berperahu dari Desa Kedisan, Kintamani. Kintamani sendiri terletak sekitar 65 kilometer arah utara Kota Denpasar.
Jalan aspal dari Kintamani menuju Desa Trunyan ini berujung di Cemara Landung, salah satu kampung di Banjar Trunyan yang berbatasan dengan Desa Buahan, Kintamani. Dari Cemara Landung ke Desa Trunyan, masih diperlukan lagi sekitar 8 sampai 10 menit berperahu.
Empat banjar lainnya di Trunyan masing-masing Banjar Madya, Banjar Bunut, Banjar Mukus, dan Banjar Puseh. Banjar Madya dan Banjar Bunut berada di sebelah selatan Desa Trunyan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Karangasem. Dari Desa Trunyan ke Banjar Bunut butuh waktu sekitar dua jam berjalan kaki. Itu pun melewati jalan setapak dan mendaki Bukit Abang.
Desa Trunyan merupakan sebuah desa kuno di tepi danau Batur, Kintamani, Kabupaten Bangli.
Desa ini merupakan sebuah desa Bali Aga, Bali Mula dengan kehidupan masyarakat yang unik dan menarik Bali Aga, berarti orang Bali pegunungan, sedangkan Bali Mula berarti Bali asli. Kebudayaan orang Trunyan mencerminkan satu pola kebudayaan petani yang konservatif.
Berdasarkan folk etimologi, penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Berdasarkan folk etimologi, penduduk Trunyan mempersepsikan diri dan jati diri mereka dalam dua versi. Versi pertama, orang Trunyan adalah orang Bali Turunan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka ‘turun’ dari langit ke bumi Trunyan. Terkait dengan versi ini, orang Trunyan mempunyai satu mite atau dongeng suci mengenai asal-usul penduduk Trunyan adalah seorang Dewi dari langit.
Versi kedua, orang Trunyan hidup dalam sistem ekologi dengan adanya pohon Taru Menyan, yaitu pohon yang menyebarkan bau-bauan wangi. Dari perdaduan kata “taru” dan “menyan” berkembang kata Trunyan yang dipakai nama desa dan nama penduduk desa tersebut.
Pohon ini, menurut kepercayaan masyarakat kami di Trunyan, menyerap bau busuk sehingga meskipun mayat dibiarkan tanpa dikubur, tidak ada bau busuk tercium. Pohon ini dikenal sebagai Taru Menyan .Taru Menyan sendiri diyakini sebagai asal mula nama Desa Trunyan. Konon, pohon ini pernah menyebarkan bau sangat harum. Keharumannya inilah yang menyerap bau busuk mayat-mayat di kuburan ini. Jangan pernah mengambil barang-barang yang ada di sini. Barang-barang itu milik orang-orang yang dikubur di sini.
Desa Trunyan terletak di sebelah timur bibir danau Batur, letak ini sangat terpencil. Jalan darat dari Penelokan, Kintamani, hanya sampai di desa Kedisan. Dari Kedisan ke desa Trunyan orang harus menyeberang danau Batur selama 45 menit dengan perahu bermotor atau 2 jam dengan perahu lesung yang digerakkan dengan dayung. Selain jalan air, Trunyan juga dapat dicapai lewat darat, lewat jalan setapak melalui desa Buahan dan Abang.
Hawa udara desa Trunyan sangat sejuk, suhunya rata-rata 17 derajat Celcius dan dapat turun sampai 12 derajat Celcius. Danau Batur dengan ukuran panjang 9 km dan lebar 5 km merupakan salah satu sumber air dan sumber kehidupan agraris masyarakat Bali selatan dan timur.
Secara spesifik, terkait dengan kepercayaan orang Trunyan mengenai penyakit dan kematian, maka cara pemakaman orang Trunyan ada 2 macam yaitu:
1. Meletakkan jenazah diatas tanah dibawah udara terbuka yang disebut dengan istilah mepasah. Orang-orang yang dimakamkan dengan cara mepasah adalah mereka yang pada waktu matinya termasuk orang-orang yang telah berumah tangga, orang-orang yang masih bujangan dan anak kecil yang gigi susunya telah tanggal.
2. Dikubur / dikebumikan. Orang-orang yang dikebumikan setelah meninggal adalah mereka yang cacat tubuhnya, atau pada saat mati terdapat luka yang belum sembuh seperti misalnya terjadi pada tubuh penderita penyakit cacar, lepra dan lainnya. Orang-orang yang mati dengan tidak wajar seperti dibunuh atau bunuh diri juga dikubur. Anak-anak kecil yang gigi susunya belum tanggal juga dikubur saat meninggal.
Untuk keperluan pemakaman, di desa Trunyan terdapat 3 kuburan yaitu:
1.Sema wayah diperuntukkan untuk pemakaman jenis mepasah
2.Sema bantas, diperuntuukan untuk dengan penguburan.
3.Sema nguda, diperuntukkan untuk kedua jenis pemakaman yaitu mepasah (exposure) maupun penguburan.
Keunikan lainnya adalah peninggalan purbakala, Prasasti Trunyan. Tersebutlah pada tahun Saka 813 (891 Masehi), Raja Singhamandawa mengizinkan penduduk Turunan (Trunyan) membangun kuil. Kuil berupa bangunan bertingkat tujuh ini merupakan tempat pemujaan Bhatara Da Tonta.
Kuil bertingkat tujuh ini dinamakan Pura Turun Hyang. Di dalamnya tersimpan arca batu Megalitik yang dipercaya dan disakralkan masyarakat Trunyan sebagai arca Da Tonta. Dikenal pula sebagai Pura Pancering Jagat sebagai istana Ratu Gede Pancering Jagat.
Setiap dua tahun sekali di pura ini digelar upacara besar. Tepatnya pada Purnama Sasih Kapat. Masyarakat Trunyan merayakannya dengan pementasan tarian sakral, Barong Brutuk dan tari Sanghyang Dedari. “Sayangnya, tarian Sanghyang Dedari kini sudah punah, tidak ada lagi yang menarikannya.
Desa Trunyan memiliki lima banjar, yang letaknya relatif berjauhan. Pusat desa ini adalah Trunyan, sebuah perkampungan yang terletak di tepi timur Danau Batur, sekitar 45 menit berperahu dari Desa Kedisan, Kintamani. Kintamani sendiri terletak sekitar 65 kilometer arah utara Kota Denpasar.
Jalan aspal dari Kintamani menuju Desa Trunyan ini berujung di Cemara Landung, salah satu kampung di Banjar Trunyan yang berbatasan dengan Desa Buahan, Kintamani. Dari Cemara Landung ke Desa Trunyan, masih diperlukan lagi sekitar 8 sampai 10 menit berperahu.
Empat banjar lainnya di Trunyan masing-masing Banjar Madya, Banjar Bunut, Banjar Mukus, dan Banjar Puseh. Banjar Madya dan Banjar Bunut berada di sebelah selatan Desa Trunyan dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Karangasem. Dari Desa Trunyan ke Banjar Bunut butuh waktu sekitar dua jam berjalan kaki. Itu pun melewati jalan setapak dan mendaki Bukit Abang.
0 Comments to "Desa Trunyan Pendududk Asli Bali"