Penikahan Adat Bali

Pernikahan adat bali sangat diwarnai dengan pengagungan kepada Tuhan sang pencipta, semua tahapan pernikahan dilakukan di rumah mempelai pria, karena masyarakat Bali memberlakukan sistem patriarki, sehingga dalam pelaksanan upacara perkawinan semua biaya yang dikeluarkan untuk hajatan tersebut menjadi tanggung jawab pihak keluarga laki – laki. hal ini berbeda dengan adat pernikahan jawa yang semua proses pernikahannya dilakukan di rumah mempelai wanita. Pengantin wanita akan diantarkan kembali pulang ke rumahnya untuk meminta izin kepada orang tua agar bisa tinggal bersama suami beberapa hari setelah upacara pernikahan.

Rangkaian tahapan pernikahan adat Bali adalah sebagai berikut:

* Upacara Ngekeb


Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain itu air merang pun tersedia untuk keramas.

Sesudah acara mandi dan keramas selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.

* Mungkah Lawang ( Buka Pintu )

Seorang utusan Mungkah Lawang bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali sambil diiringi oleh seorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.

* Upacara Mesegehagung

Sesampainya kedua pengantin di pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan selamat datang kepada pengantin wanita. kemudian keduanya ditandu lagi menuju kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng

* Madengen–dengen


Upacara ini bertujuan untuk membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian

* Mewidhi Widana


Dengan memakai baju kebesaran pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri pengantin yang telah dilakukan pada acara – acara sebelumnya. Selanjutnya, keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan

* Mejauman Ngabe Tipat Bantal


Beberapa hari setelah pengantin resmi menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan. Acara ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot, kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam buah–buahan serta lauk pauk khas bali.

http://pernikahanadat.blogspot.com

Jumat, 26 Maret 2010 di 11.16 , 0 Comments

Penikahan Adat Batak

1. Mangarisika.
Adalah kunjungan utusan pria yang tidak resmi ke tempat wanita dalam rangka penjajakan. Jika pintu terbuka untuk mengadakan peminangan maka pihak orang tua pria memberikan tanda mau (tanda holong dan pihak wanita memberi tanda mata). Jenis barang-barang pemberian untuk pernikahan adat batak dapat berupa kain, cincin emas, dan lain-lain .

2. Marhori-hori Dinding/marhusip.

Pembicaraan antara kedua belah pihak yang melamar dan yang dilamar, terbatas dalam hubungan kerabat terdekat dan belum diketahui oleh umum.

3. Marhata Sinamot.

Pihak kerabat mempelai pria (dalam jumlah yang terbatas) datang kepada kerabat mempelai wanita untuk melakukan marhata sinamot, membicarakan masalah uang jujur (tuhor).

4. Pudun Sauta.

Pihak kerabat pria tanpa hula-hula mengantarkan wadah sumpit berisi nasi dan lauk pauknya (ternak yang sudah disembelih) yang diterima oleh pihak parboru dan setelah makan bersama dilanjutkan dengan pembagian Jambar Juhut (daging) kepada anggota kerabat, yang terdiri dari:

* Kerabat marga ibu (hula-hula)
* Kerabat marga ayah (dongan tubu)
* Anggota marga menantu (boru)
* Pengetuai (orang-orang tua)/pariban
* Diakhir kegiatan Pudun Saut maka pihak keluarga wanita dan pria bersepakat menentukan waktu Martumpol dan Pamasu-masuon.

5. Martumpol (baca : martuppol)
Penanda-tanganan persetujuan pernikahan adat oleh orang tua kedua belah pihak atas rencana perkawinan anak-anak mereka dihadapan pejabat gereja. Tata cara Partumpolon dilaksanakan oleh pejabat gereja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tindak lanjut Partumpolon adalah pejabat gereja mewartakan rencana pernikahan dari kedua mempelai melalui warta jemaat, yang di HKBP disebut dengan Tingting (baca : tikting). Tingting ini harus dilakukan dua kali hari minggu berturut-turut. Apabila setelah dua kali tingting tidak ada gugatan dari pihak lain baru dapat dilanjutkan dengan pemberkatan nikah (pamasu-masuon).

6. Martonggo Raja atau Maria Raja.

Adalah suatu kegiatan pra pernikahan adat yang bersifat seremonial yang mutlak diselenggarakan oleh penyelenggara pernikahan adat yang bertujuan untuk :

* Mempersiapkan kepentingan pernikahan adat yang bersifat teknis dan non teknis
* Pemberitahuan pada masyarakat bahwa pada waktu yang telah ditentukan ada pernikahan adat pernikahan dan berkenaan dengan itu agar pihak lain tidak mengadakan pernikahan adat dalam waktu yang bersamaan.
* Memohon izin pada masyarakat sekitar terutama dongan sahuta atau penggunaan fasilitas umum pada pesta yang telah direncanakan.


7. Manjalo Pasu-pasu Parbagason (Pemberkatan Pernikahan)
Pengesahan pernikahan adat kedua mempelai menurut tatacara gereja (pemberkatan pernikahan oleh pejabat gereja). Setelah pemberkatan pernikahan selesai maka kedua mempelai sudah sah sebagai suami-istri menurut gereja. Setelah selesai seluruh acara pamasu-masuon, kedua belah pihak yang turut serta dalam acara pamasu-masuon maupun yang tidak pergi menuju tempat kediaman orang tua/kerabat orang tua wanita untuk mengadakan pesta unjuk. Pesta unjuk oleh kerabat pria disebut Pesta Mangalap parumaen (baca : parmaen)

8. Pesta Unjuk.
Suatu acara perayaan yang bersifat sukacita atas pernikahan adat putra dan putri. Ciri pesta sukacita ialah berbagi jambar :

* Jambar yang dibagi-bagikan untuk kerabat parboru adalah jambar juhut (daging) dan jambar uang (tuhor ni boru) dibagi menurut peraturan.

* Jambar yang dibagi-bagikan bagi kerabat paranak adalah dengke (baca : dekke) dan ulos yang dibagi menurut peraturan. Pesta Unjuk ini diakhiri dengan membawa pulang pengantin ke rumah paranak.

9. Mangihut di ampang (dialap jual)

Yaitu mempelai wanita dibawa ke tempat mempelai pria yang dielu-elukan kerabat pria dengan mengiringi jual berisi makanan bertutup ulos yang disediakan oleh pihak kerabat pria.

10. Ditaruhon Jual.
Jika pesta untuk pernikahan itu dilakukan di rumah mempelai pria, maka mempelai wanita dibolehkan pulang ke tempat orang tuanya untuk kemudian diantar lagi oleh para namborunya ke tempat namborunya. Dalam hal ini paranak wajib memberikan upa manaru (upah mengantar), sedang dalam dialap jual upa manaru tidak dikenal.

11. Paranak makan bersama di tempat kediaman si Pria (Daulat ni si Panganon)

* Setibanya pengantin wanita beserta rombongan di rumah pengantin pria, maka diadakanlah acara makan bersama dengan seluruh undangan yang masih berkenan ikut ke rumah pengantin pria.
* Makanan yang dimakan adalah makanan yang dibawa oleh pihak parboru


12. Paulak Unea.


* Setelah satu, tiga, lima atau tujuh hari si wanita tinggal bersama dengan suaminya, maka paranak, minimum pengantin pria bersama istrinya pergi ke rumah mertuanya untuk menyatakan terima kasih atas berjalannya acara pernikahan dengan baik, terutama keadaan baik pengantin wanita pada masa gadisnya (acara ini lebih bersifat aspek hukum berkaitan dengan kesucian si wanita sampai ia masuk di dalam pernikahan).
* Setelah selesai acara paulak une, paranak kembali ke kampung halamannya/rumahnya dan selanjutnya memulai hidup baru.

13. Manjahea.

Setelah beberapa lama pengantin pria dan wanita menjalani hidup berumah tangga (kalau pria tersebut bukan anak bungsu), maka ia akan dipajae, yaitu dipisah rumah (tempat tinggal) dan mata pencarian.

14. Maningkir Tangga (baca : manikkir tangga)

Beberapa lama setelah pengantin pria dan wanita berumah tangga terutama setelah berdiri sendiri (rumah dan mata pencariannya telah dipisah dari orang tua si laki-laki) maka datanglah berkunjung parboru kepada paranak dengan maksud maningkir tangga (yang dimaksud dengan tangga disini adalah rumah tangga pengantin baru). Dalam kunjungan ini parboru juga membawa makanan (nasi dan lauk pauk, dengke sitio tio dan dengke simundur-mundur). Dengan selesainya kunjungan maningkir tangga ini maka selesailah rangkaian pernikahan adat na gok.

http://pernikahanadat.blogspot.com

di 11.05 , 0 Comments

Dalihan Natolu

Pengertian Dalihan adalah tungku yang dibuat dari batu, sedangkan Dalihan natolu ialah tungku tempat memasak yang terdiri dari tiga batu. Ketiga dalihan yang ditanam berdekatan ini berfungsi sebagai tungku tempat memasak. Dalihan harus dibuat sama besar dan ditanam sedemikian rupa sehingga jaraknya simetris satu sama lain serta tingginya sama dan harmonis.

Pada zamannya, kebiasaan masyarakat Batak memasak di atas tiga tumpukan batu, dengan bahan bakar kayu. Tiga tungku itu, dalam bahasa Batak disebut dalihan. Falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak.

Tungku merupakan bagian peralatan rumah yang sangat vital. Karena menyangkut kebutuhan hidup anggota keluarga, digunakan untuk memasak makanan dan minuman yang terkait dengan kebutuhan untuk hidup. Dalam prakteknya, kalau memasak di atas dalihan natolu, kadang-kadang ada ketimpangan karena bentuk batu ataupun bentuk periuk. Untuk mensejajarkannya, digunakan benda lain untuk mengganjal. Dalam bahasa Batak, benda itu disebut Sihal-sihal. Apabila sudah pas letaknya, maka siap untuk memasak.
Ompunta naparjolo martungkot sialagundi. Adat napinungka ni naparjolo sipaihut-ihut on ni na parpudi. Umpasa itu sangat relevan dengan falsafah dalihan natolu paopat sihal-sihal sebagai sumber hukum adat Batak.

Apakah yang disebut dengan dalihan natolu paopat sihal-sihal itu ? dari umpasa di atas, dapat disebutkan bahwa dalihan natolu itu diuraikan sebagai berikut :
Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna, molo so Manat mardongan tubu, natajom ma adopanna, jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna.
Itulah tiga falsafah hukum adat Batak yang cukup adil yang akan menjadi pedoman dalam kehidupan sosial yang hidup dalam tatanan adat sejak lahir sampai meninggal dunia.

1. Marsomba tu Hula-Hula

Hula-hula dalam adat Batak adalah keluarga laki-laki dari pihak istri atau ibu, yang lazim disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak. Dalam adat Batak yang paternalistik, yang melakukan peminangan adalah pihak lelaki, sehingga apabila perempuan sering datang ke rumah laki-laki yang bukan saudaranya, disebut bagot tumandangi sige. (artinya, dalam budaya Batak tuak merupakan minuman khas. Tuak diambil dari pohon Bagot (enau). Sumber tuak di pohon Bagot berada pada mayang muda yang di agat. Untuk sampai di mayang diperlukan tangga bambu yang disebut Sige. Sige dibawa oleh orang yang mau mengambil tuak (maragat). Itulah sebabnya, Bagot tidak bisa bergerak, yang datang adalah sige. Sehingga, perempuan yang mendatangi rumah laki-laki dianggap menyalahi adat.

Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung dan seterusnya.

Hula-hula dalam adat Batak akan lebih kelihatan dalam upacara Saurmatua (meninggal setelah semua anak berkeluarga dan mempunyai cucu). Biasanya akan dipanggil satu-persatu, antara lain : Bonaniari, Bonatulang, Tulangrorobot, Tulang, Tunggane, dengan sebutan hula-hula.

Disebutkan, Naso somba marhula-hula, siraraon ma gadong na. Gadong dalam masyarakat Batak dianggap salah satu makanan pokok pengganti nasi, khususnya sebagai sarapan pagi atau bekal/makan selingan waktu kerja (tugo).
Siraraon adalah kondisi ubi jalar (gadong) yang rasanya hambar. Seakan-akan busuk dan isi nya berair. Pernyataan itu mengandung makna, pihak yang tidak menghormati hula-hula akan menemui kesulitan mencari nafkah.

Dalam adat Batak, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hula-hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Misalnya, tanah adat tidak akan diberikan untuk diolah boru yang tidak menghormati hula-hula (baca elek marboru).

2. Manat Mardongan Tubu.
Dongan tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Rumpun marga suku Batak mencapai ratusan marga induk. Silsilah marga-marga Batak hanya diisi oleh satu marga. Namun dalam perkembangannya, marga bisa memecah diri menurut peringkat yang dianggap perlu, walaupun dalam kegiatan adat menyatukan diri. Misalnya: Si Raja Guru Mangaloksa menjadi Hutabarat, Hutagalung, Panggabean, dan Hutatoruan (Tobing dan Hutapea). Atau Toga Sihombing yakni Lumbantoruan, Silaban, Nababan dan Hutasoit.

Dongan Tubu dalam adat batak selalu dimulai dari tingkat pelaksanaan adat bagi tuan rumah atau yang disebut Suhut. Kalau marga A mempunyai upacara adat, yang menjadi pelaksana dalam adat adalah seluruh marga A yang kalau ditarik silsilah ke bawah, belum saling kimpoi.

Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. seperti umpama “Angka naso manat mardongan tubu, na tajom ma adopanna’. Ungkapan itu mengingatkan, na mardongan tubu (yang semarga) potensil pada suatu pertikaian. Pertikaian yang sering berakhir dengan adu fisik.
Dalam adat Batak, ada istilah panombol atau parhata yang menetapkan perwakilan suhut (tuan rumah) dalam adat yang dilaksanakan. Itulah sebabnya, untuk merencanakan suatu adat (pesta kimpoi atau kematian) namardongan tubu selalu membicarakannya terlebih dahulu. Hal itu berguna untuk menghindarkan kesalahan-kesalahan dalam pelaksanaan adat. Umumnya, Panombol atau parhata diambil setingkat di bawah dan/atau setingkat di atas marga yang bersangkutan.

3. Elek Marboru
Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat(pasu-pasu). Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.

Pada hakikatnya setiap laki-laki dalam adat batak mempunyai 3 status yang berbeda pada tempat atau adat yg diselenggarakan misalnya: waktu anak dari saudara perempuannya menikah maka posisinya sebagai Hula-hula, dan sebaliknya jika marga dari istrinya mengadakan pesta adat, maka posisinya sebagai boru dan sebagai dongan tubu saat teman semarganya melakukan pesta.
(source: hp://www.bonapasogit.tv , sumber lainnya)

From http://tarombo.net

di 10.55 , 0 Comments

About Batak

Batak adalah nama sukubangsa di Indonesia. Suku ini bermukim di Sumatra Utara. Suku Batak ini berdiaspora ke berbagai penjuru Indonesia. Diperkirakan di wilayah Jabodetabek saja sudah mencapai lebih dari 200.000 jiwa. Lebih banyak orang Batak bermukim di luar daerah asalnya yakni Tapanuli, Simalungun, dan Karo. 14% penduduk kota Medan adalah orang Batak, sehingga secara nasional orang Batak sering disebut sebagai orang Medan, karena kota Medan adalah kota terbesar di Sumatera Utara dengan penduduk 2,3 juta jiwa dan pertumbuhan kota yang sangat pesat yang di dominasi oleh etnis Jawa dan Cina, orang Batak yang 85% hidup di pedesaan malu jika mengaku dari desa. Maka, banyak orang Batak sering mengaku dari Medan (Maksudnya 'Sumatera Utara').

Mayoritas orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya biasa disebut dengan Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Pelebegu atau Parbegu), walaupun kin jumlah penganut Parmalim dan Pelebegu ini sudah semakin berkurang.


Suku Batak terdiri dari beberapa sub-suku yang berdiam di wilayah Sumatera Utara yakni sebagian besar di Tapanuli, Simalungun, Karo, serta Nias dan Pakpak-Dairi -- kedua wilayah terakhir ini termasuk wilayah Tapanuli. Sub-suku Batak terdiri dari Toba yang bermukim di wilayah Toba yakni Toba, Silindung, Samosir, dan Humbang; Angkola yang bermukim di wilayah Tapanuli Selatan, Sipirok dan Angkola; Mandailing yang bermukim di Mandailing Natal; Simalungun di daerah Simalungun; Karo di daerah Karo; Pakpak Dairi bermukim di daerah Pakpak dan Dairi. Bahkan dalam pelajaran antropologi yang diajarkan di sekolah-sekolah bahwa Nias, Alas dan Gayo dikelompokkan dalam sub Suku Batak. Dalam dua dasawarsa terakhir ini terbentuk pula sub-suku Batak lainnya, yakni Batak Pesisir. Ir. Akbar Tanjung, mantan Ketua DPR-RI, pertama kali menjadi ketua Persatuan Batak Pesisir ini. Sub-suku Batak Peisisir ini bermukim (tersebar) di daerah-daerah pesisir pantai Timur Sumatera yakni Asahan, Labuhan Batu dan Rantau Prapat, juga pantai Barat Sumatera yakni Sibolga dan Barus di Tapanuli Tengah.

Pengelompokan sub suku Batak dilakukan berdasarkan wilayah pemukimannya, darpada karena garis keturunan.

Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial).

Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua sub suku Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial) terlihat dari terbentuknya, tersepakatinya suatu tradisi adat-istiadat di setiap wilayah. Bagi orang Batak yang bermukim di wilayah Mandailing, misalnya, terbentuk suatu tradisi adat-istiadatyang memiliki corak tersendiri dibandingkan dengan adat-istiadat suku Batak yang bermukim di Toba, walaupun marga-marga yang bermukim di Mandailing dan Toba banyak yang sama, seperti marga Siregar, Lubis, Hasibuan, dan Batubara.

Untuk menggambarkan betapa kedua bentuk kekerabatan ini memiliki daya rekat yang sama, ada perumpamaan dalam bahasa Batak Toba berbunyi demikian: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. Artinya, semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan Batak lebih dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah.

Jadi pembagian sub-suku Batak lebih ditentukan oleh wilayah pemukiman atau Bius daripada garis keturunan silsilah.


Falsafah dan Sistem Kemasyarakatan

Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatan (kekerabatan)nya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal. Dalam Bahasa Batak Angkola Dalihan na Tolu terdiri dari Mora,Kahanggi dan Anak Boru

Hulahula/Mora adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).

Dongan Tubu/Kahanggi disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya lahir dari perut yang sama. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya terkadang saling gesek. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.

Boru/Anak Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai 'parhobas' atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan: Elek marboru.

Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifak kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.

Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raji no Dongan Tubu dan Raja ni Boru.

Kepercayaan

Orang Batak telah menganut agama Kristen Protestan yang disiarkan oleh misionaris Jerman, Nomensen pada tahun 1863. Gereja yang pertama berdiri adalah HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) di huta Dame, Tarutung. Saat ini gereja HKBP telah tersebar di seluruh Indonesia. Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.

Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:

* Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
* Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
* Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.

Demikianlah religi dan kepercayaan suku Batak yang terdapat dalam pustaha. Walaupun sudah menganut agama Kristen dan berpendidikan tinggi, namun orang Batak belum mau meninggalkan religi dan kepercayaan yang sudah tertanam di dalam hati sanubari mereka. Ada juga kepercayaan yang ada di Tarutung tentang ular (ulok) dengan boru Hutabarat bahwa boru Hutabarat tidak boleh dikatakan cantik di Tarutung. Apabila dikatakan cantik maka nyawa wanita tersebut tidak akan lama lagi, menurut kepercayaan orang itu.

Tarombo

Silsilah atau Tarombo merupakan suatu hal yang sangat penting bagi orang Batak. Bagi mereka yang tidak mengetahui silsilahnya akan dianggap sebagai orang Batak kesasar (nalilu). Orang Batak khusunya kaum laki-laki diwajibkan mengetahui silsilahnya minimal nenek moyangnya yang menurunkan marganya dan teman semarganya (dongan tubu). Hal ini diperlukan agar mengetahui letak kekerabatannya (partuturanna) dalam suatu klan atau marga.

Falsafah

Secara umum, suku Batak memiliki falsafah adat Dalihan Natolu yakni Somba Marhulahula (hormat pada pihak keluarga ibu/istri), Elek Marboru (ramah pada keluarga saudara perempuan) dan Manat Mardongan Tubu (kompak dalam hubungan semarga). Dalam kehidupan sehari-hari, falsafah ini dipegang teguh dan hingga kini menjadi landasan kehidupan sosial dan bermasyarakat di lingkungan orang Batak.

Sejarah


Sejarah Batak modern dipengaruhi oleh dua agama Samawi yakni Islam dan Kristen. Islam makin kuat pengaruhnya pada saat Perang Padri, melalui aktivitas dakwah yang dilakukan para da'i dari Minangkabau. Perluasan dan penyebaran agama Islam hingga memasuki daerah Tapanuli Utara dibawah pimpinan Tuanku Rao, namun tidak berhasil. Islam hanya berkembang di kalangan Mandailing dan sebagian Angkola.

Agama Kristen baru berpengaruh di kalangan Angkola dan Batak setelah beberapa kali misi Kristen yang dikirimkan mengalami kegagalan. Misionaris yang paling berhasil adalah I.L. Nommensen yang melanjutkan tugas pendahulunya menyebarkan agama Kristen di wilayah Tapanuli. Ketika itu, masyarakat Batak yang berada di sekitar Tapanuli, khususnya Tarutung, diberi pengajaran baca tulis, keahlian bertukang untuk kaum pria dan keahlian menjahit serta urusan rumah tangga bagi kaum ibu. Pelatihan dan pengajaran ini kemudian berkembang hingga akhirnya berdiri sekolah dasar dan sekolah keahlian di beberapa wilayah di Tapanuli. Nommensen dan penyebar agama lainnya juga berperan besar dalam pembangunan dua rumah sakit yang ada saat ini, RS Umum Tarutung dan RS HKBP Balige, yang sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Sementara itu, perkembangan pendidikan formal juga terus berlanjut hingga dibukanya sebuah perguruan tinggi bernama Universitas HKBP I.L. Nommensen (UHN) tahun 1954. Universitas ini menjadi universitas swasta pertama yang ada di Sumatra Utara dan awalnya hanya terdiri dari Fakultas Ekonomi dan Fakultas Theologia.

Kontroversi

Belakangan sebagian orang Simalungun, Karo dan Nias tidak menyebut dirinya sebagai bagian dari (sub-suku) Batak. Sementara Suku Alas, Suku Gayo, dan Suku Kluet dalam pergaulan sehari-hari sejak Indonesia merdeka tidak menyebut diri sebagai bagian dari suku Batak.

Dalam sensus penduduk tahun 1930 dan 2000, pemerintah mengklasifikasikan Tapanuli, Karo, Toba, Mandailing dan Angkola sebagai etnis Batak.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak

di 10.24 , 0 Comments

Dampak Positif Pariwisata Terhadap Kebudayaan

I INTRODUCTION
Tourism is one of the construction sector which is currently being promoted by the government. This is because tourism has a very important role in the development of Indonesia, especially as foreign exchange earners in the country next to oil and gas sector.
The purpose of tourism development in Indonesia seen clearly in the Instruction of the President of the Republic of Indonesia No. 9 Year 1969, especially Chapter II, Article 3, which mentions "The efforts of tourism development in Indonesia is a developing" tourism industry "and is part of the development and construction efforts and kesejahtraan society and the State "(Yoeti, 1996: 151).

Based on the Presidential Instruction, said that the purpose of tourism development in Indonesia are:
(1) Increasing foreign exchange earnings and revenues in particular the state and society in general, and the expansion of employment opportunities, and encourage the activities of supporting industries and industries other side.

(2) Introducing and harness the natural beauty and culture of Indonesia.

(3) Increasing the brotherhood / national and international friendship.

In the above goal, it was clear that the tourism industry developed in Indonesia in order to bring in and increase the foreign exchange (state revenue). In other words, all efforts related to tourism is a commercial enterprise with the main purpose of bringing foreign exchange.
In addition, tourism development also aims to introduce and make use of natural beauty and culture of Indonesia. This means, the development of tourism in Indonesia from potential telepas not owned by Indonesia to support the tourism. Cultural diversity of Indonesia has a very interesting. Cultural diversity is backed by the religious, unique customs, and arts of every tribe in Indonesia. In addition, the beautiful landscape will provide a separate appeal for tourists both natural mountain (rural), Under Water, and the beach.

Indonesian culture to be enjoyed as an attraction for tourists require a means of expressing. This means, for others to understand the culture of Indonesia is needed an instrument capable of expressing it describes the culture as a whole. Tools cultural expression that no other language, which in this case is the Indonesian language.
Culture in the broadest sense as a result of initiative and creative human work will certainly continue to evolve with the development of human civilization and the times. Therefore, the rapid growth of tourism in Indonesia also have implications for the development of Indonesian culture, including the development of Indonesian language as a means of expressing the Indonesian culture.

Based on the above description, in this paper will study the relationship between tourism, culture, and language as well as the problem. To complement these pembahasnnya used Bali as an example the case.

II TOURISM, CULTURE AND LANGUAGE
Before discussing the main issues set forth in the introduction above, the first will be presented some concepts associated with the above title that aims to to provide a description of the variables above the title, so in the end in mind the relationship between one variable and other variables. With demikiann will be found a comprehensive answer to address the above problems.

2.1 Tourism
Limitation of tourism can be reviewed from various perspectives. Therefore, restrictions on tourism, there is no uniformity depending on the point of view. One is that dikemukan by E. Guyer Freuler in Yoeti (1996: 115), which states:
Tourism in the modern sense is a phenomenon of today is based on the need for health and weather changes, assessment of conscious and nurture (love) to the beauty of nature and in particular due to the increasing association of nations and classes of human society as a result of commercial development , industry, trade and perfection than transport equipment.

Another notion of tourism is:
Tourism is a journey undertaken for the diselnggarakan temporarily from one place to another, in order not to try (business) or to make a living in the place visited, but simply to enjoy the journey to pertamasyaan and recreation or to meet diverse desire.
(Yoeti, 1996: 118)

Based on the above understanding, we can say that tourism is an activity that made the trip from one place to another for a while with the recreational purposes rather than to make a living. Thus, the main purpose of the trip is related to pertamasyaan. In addition, the notion was also known that people who travel will require a variety of goods and services since they went from point of origin to their destination and return to their places of origin.
The emergence of products and services due to recreational activities undertaken by tourists are far from where she lived. In this case they need transportation services, accommodation, catering, entertainment, and other services. Thus, the product is the overall tourism industry services received by tourists, began to abandon her home (home visitors) to the destination (tourist destination) and return to their home areas.

Tourism industry is said to be, because in it there are various activities that can produce goods and services. However, the meaning of the industry here is not as understanding of the industry in general that is the plant or machinery large and small filled with smoke. Tourism industry is not as understanding of the industry in general, so-called industrial tourism industry without smoke.
Above description in line with the concept of the tourism industry put forward by Yoeti (1996: 153) which states: "The tourism industry is a collection of the kinds of companies that together produce goods and services (goods and services) needed tourists in particular and the traveler in general, during the perjalannnya ".

Another notion that is consistent with the above description of the tourism industry is presented by Damardjati cited by Sihite (2000:54). According to him, "the tourism industry is a summary of various kinds which together produce produk-produk/jasa-jasa/layanan-layanan or services, which will either directly or indirectly will be needed by the tourists during the journey".
Based on some of the above definition, it can be said that pariwista industry is a collection of various companies which jointly produce goods or services needed by tourists and traveler during his journey.

2.2 Culture
Culture is the whole communication system that binds and allows operation of a set of people called the public. Thus culture can be defined as a "system of rules of communication and interaction that allows a society occurs, preserved, and preserved". Culture that gives meaning to all business and human movements. (Nababan, 1984: 49)
Based on the above definition, clearly shows that between humans and culture are inseparable. Similarly, between the Indonesian and Indonesian culture. This is because human beings live alongside Indonesia in a unit area of ethnic communities, also live in a unity of the Republic of Indonesia. In this regard, they hold one culture, according to the conception of insight archipelago, Indonesia is the national culture (Geriya, 1996: 71).

Furthermore formally Indonesia normative cultural system and set the whole human Indonesian society. There are two functions of cultural systems that Indonesia is very important, namely: the giver's identity and as a communication that unites and integrates the Indonesian community that is diverse.

Culture can also be interpreted as "the activities and the creation of the mind (reason) people like: faith, art, etc." For example, Chinese Culture, Culture of Indonesia, and Javanese culture. (Poerwadarminta, 1983: 157). Based on this understanding, we can say that only humans have culture. This is due to living things is people who have sense and reason to generate culture.

In addition to the above two terms, the notion of culture can also be viewed from the corner of Sciences Anthropology. In this regard, culture (the culture) is defined as "the entirety of the conduct and results of regular human behavior by the administration that must be acquired behaviors by learning and all are arranged in life". (Koentjaraninggrat Ed., 1985: 77).

Culture in this case is understood as a learned behavior and conducted by a group of people, cultures obtained from others by learning from the community. Culture also includes everything that is the result of creativity, initiative, and the work of humans in an effort to improve the standard of living and adapt to their environment. As a system, the culture needs to be seen from the embodiment of human life associated with the ideas, behaviors, and material that are influenced by various aspects.

Based on the notions above can be concluded is meant by culture is a result of creative initiative, and the work of humans in an effort to improve the standard of living and adapt to their environment. These limits are more emphasized on the fact that humans are capable of producing culture, because humans are living beings who have mind and reason.

2.3 Language
Language as one element of culture has a very important role in human life. Language allows a person communicating with others in meeting their needs. Thus, it can be said is the main function of language as a tool komuniasi. This does not mean that the language has only one function. Another function is as a tool to express self-expression, a tool to make integration and social adaptation, as well as a tool to hold social control. (Keraf, 1980: 3)

Based on these functions, also mentioned that "Language is a means of communication between members of the public symbol of the sound produced by means of said human" (Keraf, 1980: 1). Similar opinion was also expressed by Sitindoan (1984: 17) states "Language is a symbol of the sound produced by means of said human, and the system has means that are arbitrary; used by men in her life as a means of communication between each other to form, express , and communicate thoughts and feelings. Cultural social nature ".

Based on the notions described above, it is clear that the language was intended in this paper is a communication tool produced by the tool man has said symbol, system, meaning, and social are arbitrary and culturally. Every language has a symbol. With the symbol will facilitate communication, although not directly dealing with the object. This is because each symbol already contains a concept or understanding. In order for the meaning of the symbols are understood, every language user must understand and follow the system language is used. Language system contains rules or rules that must be obeyed by the user's language. If not obeyed, the delivery information may be chaotic or communication can not happen.

Languages are arbitrary means no direct relationship between the symbol with the symbolized. Pelambangan emergence of an object is based on the convention. However, even so to be able to understand a language must be studied and used as a communication tool.

From the above description can be said is the Indonesian language is the language here used as a communication tool by residents of the Republic of Indonesia, as the national language as well as an official language. As the national language Indonesian point is recognized and used officially by the Indonesian people in administration, education, political, and cultural fields in a broad sense; as an official language of Indonesian means used by the nation of Indonesia as the official communication tool in a situation that is authorized: in formal meeting, for the purposes of state administration, education and teaching, and the development of science, technology, and culture. (Sitindoan, 1984: 19)

III RELATIONSHIP BETWEEN THE PROBLEM AND TOURISM, CULTURE, AND LANGUAGE

The development of tourism in Indonesia will have implications for the development of Indonesian national culture that is supported by local cultures. This phenomenon will also affect the development of Indonesian language is part of the national culture as well as Indonesia and also as a means pengungkapnya.

3.1 Tourism and Cultural Relations
Tourism is a phenomenon consisting of various aspects, such as: economic, technological, political, religious, cultural, ecological, and defense and security. Developing tourism through openness and cross-cultural communication, through tourism is also growing more and more widespread communication between other components in the framework of relationships that are mutually influencing (Geriya, 1996:38)

Culture as one aspect of tourism can be used as a potential in the tourism development. This is because, in the development of tourism in a country or a region is related to the potential possessed by a region or a country. Indonesia, for example, by capitalize national cultural wealth backed by the uniqueness of local cultures can use culture as a tourist attraction.

Development of tourism, which is based on further culture termed cultural tourism. In other words, cultural tourism is a type of tourism that is developed based on culture (Geriya, 1996: 45). Culture is meant here is Indonesian culture that is built from the various local cultures in Indonesia. This means that, every step is done in an effort to develop tourism in Indonesia has always been based on national culture of Indonesia. All aspects related to tourism, such as: promotion, attraction, management, food, souvenirs, it should always utilize the potential of national culture of Indonesia. Thus the future of Indonesian tourism has its own characteristics which can be distinguished from other countries for tourism, which is based on the potential of others.

The discussion above shows how closely the relationship between tourism and the national culture of Indonesia. Indonesian tourism is developed based on the potential of existing national culture and national culture will be developed along with the development of tourism. In addition, the development of sustainable tourism with the concept of cultural tourism will be able to strengthen the national culture of Indonesia.

3.2 Culture and Language
Culture and language have a very close relationship. Culture and language in this case is limited to the national culture of Indonesia and the Indonesian language. The relationship between the two is not only limited to Indonesian is part of the national culture of Indonesia, but also be seen from the function of language as expression, conservationists, and heir to the Indonesian national culture.

Language as a communication system is part of the culture system. Languages involved in all aspects of culture, because human culture can not happen without the language. This language allows the formation of a culture. This is one of the relationship between culture and language.

Cultural relations and other languages is that language as a communication system, will have meaning only in a culture that became the container. This means that in order to understand a language, at least should be familiar with the culture. And vice versa, to understand the culture of a region or a country would be more perfect if it also understands the language.

The relationship between culture and language can also be seen on the other hand, the language is the key to a deeper understanding of a culture. Therefore, in studying a culture is also necessary to learn the language.

According to Nababan (1984: 52) there are two kinds of relationship between culture and language. Both relationships are (1) that the language is part of the culture and (2) that a person learns the culture through language. The first relationship is with the phylogenetic relationships, whereas the second relationship is with ontogenetik relationship. Both the relationship between language and culture can be described as follows.
Phylogenetic
(Systemic)
Ontogenetik
(Learning)

From the above description of language in general has a very close relationship with culture. This also occurs between Indonesian and national culture. That is, to determine the national culture can be learned from the Indonesian language as a vehicle pengungkapnya function. Learning and vice versa Indonesian indirectly also know Indonesian culture as a container.

3.3 Impact of Cultural Tourism
Tourism as a phenomenon consisting of various aspects of course will affect these aspects, including the culture is one aspect of tourism. Moreover, the development of tourism in Indonesia based on Indonesia's national culture, of tourism development will affect the national culture of Indonesia.

The impact of tourism on culture can not be separated from the patterns of interaction which tend to be dynamic and positive. Dynamics is developed, because culture is an important role for sustainable development of tourism and tourism on the other hand provide a role in revitalizing the culture. Positive feature of these dynamics are shown to improve the cultural patterns of tourism and tourism is also capable of advancing culture. (Geriya, 1996: 49).

Exposure on the development of tourism indicates can provide a positive impact on culture. Here the cultural acculturation will occur, because of the local community interaction with tourists. In addition, regional cultures that are part of the national culture of Indonesia will continue to grow. This is caused by the tourists (foreigners) who comes to see and know better the original culture. This of course also result in the excavation of cultural values indigenous to developed and preserved. Thus the traditional cultural patterns such as historic sites, monuments, art, and customs will remain preserved and sustainable (sustainable).

Positive impact on cultural tourism, as stated above in line with the thinking Sihite (2000: 76) mentions an outline of the positive impact of cultural tourism can be seen on the following things:

□ It is a stimulant in the maintenance business of cultural monuments that can be enjoyed by locals and tourists.

□ It is a boost in the effort to preserve and revive some traditional cultural patterns such as arts, crafts, dance, music, traditional ceremonies, and clothing.

□ Memberingan drive to improve the environment clean and attractive.

□ The occurrence of cultural exchange between tourists and local communities. For example, many tourists may be more familiar with cultural and other environmental and local residents also know other places of tourist story.

□ To encourage education in the field of tourism to generate human resources in the field of tourism that are reliable.

The development of tourism terkosentrasi very rapidly and can cause various effects. In general, the impact is a positive impact and negative effects. Positive impact of tourism development include: (1) expand employment; (2) increasing opportunities; (3) increase revenues, (4) the maintenance of local culture; (5) knows the local culture by the tourists. While the negative impacts of tourism will lead to; (1) the occurrence of additional pressure due to the population of newcomers from other regions; (2) the emergence of commercialization; (3) the development of consumptive lifestyle; (4) disruption of the environment; (5) the limited agricultural land ; (6) digestion culture; and (7) terdesaknya local community (Spillane, 1989:47).

Positive impact of cultural tourism activities of local communities, among others; the emergence of a culture of creativity and innovation, cultural acculturation, and cultural revitalization. While the negative effects are often worried the local community's culture, among others; the process of commodification, imitation, and profanisasi (Shaw and Williams, in Ardika 2003:25). Further explained that the impact of tourism on local culture as described above is caused by three things namely: (1) local communities to provide the artwork or high-quality crafts to buyers (tourists); (2) to maintain the image and identity local culture to the outside world; (3) people want to earn money due to the increased commercialization (Graburn Ardika 2000 in 2003).

Subhadra (2006) provides a clearer limits on the socio-cultural impacts of tourism. Positive socio-cultural impacts of tourism development can be seen from the preservation of cultures of local communities such as religious activities, customs, and traditions, and acceptance of tourist development and tourist arrival by locals. While the negative impact of socio-cultural development of tourism visits from the local community response to tourism such as the existence of disputes or conflicts of interest among the stakeholders, hatred and rejection of tourism development, and the emergence of social problems such as the practice of gambling, prostitution and sexual abuse (sexual abuse ).

Bali as one of the main tourist attraction in Indonesia is a barometer of national tourism development. Therefore, Bali an important role in the development of tourism in Indonesia.

As a major destination for tourists, of course Bali is inseparable from the impact of tourism development from all aspects of life including culture. Development of tourism in Bali, which is based on Balinese culture which is basically rooted in the Hindu religion, bringing the excitement of the excavation, maintenance, and development of cultural aspects, especially the arts, heritage monuments of history, and customs. Of course this dual effect of increasing local revenues from these activities as consumption for tourists and preserve the cultural aspects of itself. For example, performing a variety of art for tourists, a museum to store the objects as well as a historic tourist attraction, and various customs activities that are unique.

Adanya dampak positif pariwisata terhadap kebudayaan menunjukkan adanya keselarasan ungkapan yang mengatakan “Pariwisata untuk Kebudayaan”. Artinya, pengembangan pariwisata benar-benar memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan kebudayaan dalam arti yang luas. Ini artinya, perkembangan pariwisata secara positif dapat memperkokoh kebudayaan Indonesia.
Di samping memberikan dampak yang positif, pengembangan pariwisata juga dapat menimbulkan masalah. Di samping pariwisata dapat mengembangkan dan melestarikan kebudayaan, sering juga terjadi sebaliknya yaitu tereksploitasinya kebudayaan secara berlebihan demi kepentingan pariwisata. Tentu hal ini akan berdampak negatif terhadap perkembangan kebudayaan. Ini sering terjadi akibat adanya komersialisasi kebudayaan dalam pariwisata. Artinya, memfungsikan pola-pola kebudayaan seperti kesenian, tempat-tempat sejarah, adat istiadat, dan monumen-monumen di luar fungsi utamanya demi kepentingan pariwisata. Inilah suatu masalah yang dihadapi sekaligus tantangan dalam pengembangan pariwisata budaya. Hal ini juga dialami oleh Bali sebagai daerah tujuan wisata di Indonesia.

Perkembangan pariwisata memang dapat menumbuhkembangkan aspek-aspek kebudayaan seperti kesenian dan adat istiadat di Bali. Akan tetapi, di balik itu ternyata juga muncul permasalahan akibat terlalu tereksploitasinya aspek-aspek tadi. Misalnya, munculnya berbagai kesenian yang awalnya hanya dipentaskan untuk kepentingan upacara agama, kemudian dipertunjukkan untuk kepentingan wisatawan. Demikian juga dijadikannya tempat suci sebagai objek wisata. Ini merupakan fakta terjadinya komersialisasi budaya dalam pariwisata, karena berubahnya atau bertambahnya fungsi di samping fungsi utamanya.

Di samping terjadinya komersialisasi, tampaknya yang perlu juga menjadi pemikiran kita bersama, yaitu pola pembinaan kebudayaan dalam arti luas sebagai pendukung kepariwisataan. Sudah menjadi kenyataan devisa yang dihasilkan dari pengembangan pariwisata, digunakan oleh negara untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang. Devisa itu dibagi-bagi ke semua aspek pembangunan, sehingga dirasakan sangat kecil kembali pada bidang kebudayaan. Padahal secara nyata kebudayaan itulah sebagai penopang paling besar dalam pariwisata untuk mendatangkan devisa. Oleh karena itu, ada kesan “budaya untuk pariwisata”. Dengan demikian, kebudayaan di sini tereksploitasi secara besar-besar dan hanya digunakan sebagai bahan promosi tanpa adanya usaha untuk menjaga dan melestarikannya. Kini banyak objek wisata yang tidak tertata akibat dana pemeliharaan yang terbatas. Salah satu contoh konkret adalah Museum Subak yang ada di Kabupaten Tabanan, Bali. Museum ini meruapakan aset budaya Bali yang tak ternilai harganya. Sayang, kini museum itu sepertinya hanya tinggal kenangan.

3.4Pengaruh Perkembangan Pariwisata terhadap Bahasa
Perkembangan pariwisata akan memberikan efek terhadap kehidupan masyarakat setempat. Efek itu mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, baik itu sosial, ekonomi, budaya, relegi, dan juga lingkungan. Luasnya pengaruh perkembangan pariwisata terhadap aspek kehidupan dapat dikaji secara mandiri. Misalnya, pengaruh terhadap bidang sosial, pengaruh terhadap bidang ekonomi, atau pengaruh terhadap bidang kebudayaan.

Sehubungan dengan hal itu dalam kesempatan ini yang dibahas adalah pengaruh perkembangan pariwisata terhadap Bahasa Indonesia yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional Indonesia. Pengaruh ini apabila ditinjau dari politik bahasa nasional yang mengatur pengembangan dan pembinaan Bahasa Indonesia dapat dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif dan pengaruh yang bersifat negatif.

Pengaruh yang bersifat positif artinya perkembangan pariwisata di Indonesia dapat membantu membina dan mengembangkan bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara. Pengaruh positif ini dapat dilihat dari data berupa munculnya kata-kata dan istilah yang berhubungan dengan kepariwisataan. Artinya, perkembangan pariwisata sudah nyata dapat memperkaya khasanah perbendaharaan kata dan istilah dalam Bahasa Indonesia.

Berikut ini adalah contoh kata dan istilah yang digunakan dalam bahasa Indonesia yang berhubungan dengan kepariwisataan, yaitu: agrowisata, apartemen, awak kabin, bandara, bar, bartender, brosur, Usaha Perjalanan Wisata, kargo, souvenir, reservasi, Diparda, destinasi, objek wisata, daerah tujuan wisata, ekowisata, embarkasi, hotel, reservasi, restoran, jasa boga, kepariwisataan, paspor, devisa, visa, pelancong, pramusaji, pramuwisata, prasmanan, bufe, sadar wisata, sapta pesona, tata graha, tour, wisatawan, paket wisata, wisatawan domestik (wisdom), dan wisatawan mancanegara.

Di samping dapat memperkaya khasanah kosa kata dan istilah, dampak positif perkembangan pariwisata terhadap Bahasa Indonesia juga ditemukan dalam fungsi bahasa Indonesia sebagai alat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, saat ini sudah banyak buku tentang pariwisata yang disajikan dengan Bahasa Indonesia. Ini artinya, Bahasa Indonesia telah digunakan sebagai sarana dalam mengembangkan ilmu pariwisata. Dengan demikian masyarakat akan lebih mudah memahami pariwisata dan sekaligus membantu memasyarakatkan kepariwisataan di kalangan masyarakat.

Positif dan negatif adalah dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua sisi mata uang. Demikian juga dalam pengembangan pariwisata di Indonesia di samping berdampak positif terhadap Bahasa Indonesia juga ada pengaruh negatifnya. Pengaruh negatif yang dimaksudkan di sini lebih ditekankan pada masalah belum maksimalnya fungsi bahasa Indonesia sebagai pengungkap produk-produk industri pariwisata.

Di depan telah disebutkan pengembangan pariwisata berdasarkan kebudayaan mestinya semua aspek kebudayaan termasuk produk yang dihasilkan dari industri pariwisata menggunakan Bahasa Indonesia sebagai pengungkapnya, kecuali produk industri pariwisata yang memang berasal dari luar negeri. Akan tetapi, dalam kenyataannya fenomena ini belum terlaksana secara maksimal. Buktinya, sebagai contoh di Bali banyak komponen industri pariwisata justru menggunakan bahasa asing atau pola penyusunannya adalah pola bahasa asing. Padahal itu adalah produk lokal. Misalnya, nama hotel dan restoran, serta nama produk minuman dan makanan khas Bali.
Data berikut menunjukkan nama hotel dan restoran serta nama produk lainnya yang menggunakan bahasa atau pola bahasa asing.
No. Pola Bahasa Asing Pola Bahasa Indonesia
1 Nusa Dua Beach Hotel Hotel Nusa Dua Beach
2 Jayakarta Hotel Hotel Jakarta
3 Borobudur Hotel Hotel Borobudur
4 Lotus Restaurant Restoran Lotus
5 Mamai Restaurant Restoran Mamai
6 Bali Cofee Kopi Bali
7 Hot Tea Teh Panas
8 Bali Arak Arak Bali

3.5Pengaruh Kebudayaan terhadap Bahasa
Kebudayaan sebagai hasil cipta, karya, dan karsa manusia tentu terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman dan peradaban manusia. Perkembangan ini sudah pasti diikuti oleh adanya perubahan akibat pergaulan manusia satu dengan yang lainnya dalam suatu tatanan kemasyarakatan. Kontak bahasa akan mengakibatkan adanya kontak budaya demikian juga sebaliknya kontak budaya menyebabkan terjadinya kontak bahasa.

Sehubungan dengan itu, dapat dikemukan sebagai contoh munculnya istilah komputer, kamera, televisi akan diikuti oleh hadirnya produk fisik. Kemudian dari produk fisik ini akan hadir kosa kata dan istilah yang berhubungan dengannya sebagai sarana pengungkapnya. Misalnya, dari istilah komputer muncul istilah terkait seperti disket, printer, monitor, mouse dan yang lain; dari istilah kamera hadir istilah pendukung seperti foto, digital, film; dan dari istilah televisi kemudian lahir istilah lain sebagai pendukung seperti antena, parabola, dan frekuensi (Djajasudarma, 2001).

Munculnya kata dan istilah baru dalam Bahasa Indonesia juga diakibatkan adanya perkembangan kebudayaan nasional yang didukung oleh kebudayaan daerah dengan bahasa daerahnya masing-masing. Artinya, perbendaharaan kosa kata Bahasa Indonesia juga muncul dari bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Misalnya, dalam bidang seni muncul kata barong, reog, gandrung, dan wayang orang.

Semua yang dipaparkan di atas adalah efek positif perkembangan kebudayaan nasional terhadap Bahasa Indonesia. Efek negatifnya justru terlihat pada keterbatasan Bahasa Indonesia untuk mewahanai kebudayaan-kebudayaan yang diserap dari hasil pergaulan masyarakat Indonesia dengan masyarakat internasional. Artinya, ada istilah kebudayaan yang diserap dari luar belum ditemukan padanan yang pas dalam Bahasa Indonesia. Ini akan menimbulkan penggunaan istilah asingnya dalam Bahasa Indonesia. Misalnya istilah flash disk, hard disk yang berkaitan dengan komputer.

IV conclusions AND RECOMMENDATIONS
4.1 Conclusions
Based on the above description, it can be concluded more of the following: (1) Tourism, culture and language has a very close relationship. This was caused by tourism in Indonesia was developed based on the national culture of Indonesia. National culture is supported by local cultures can be enjoyed by tourists need a means of expressing the language. That is, people want to know the national culture to Indonesia through the Indonesian language. Similarly, the Indonesian study also indirectly learn the Indonesian national culture. So, with such language (Indonesia) is a means of expressing national culture of Indonesia is used as the basis for the development of tourism in Indonesia. (2) such a close relationship between tourism, culture, and language not only have a positive impact, but also create problems as the negative impact . (3) The positive impact of tourism on cultural development of cultural acculturation will occur, because of the local interaction with tourists, local cultures will continue to grow because of the tourists (foreigners) who comes to see and know better the original culture these, and the excavation efforts of cultural values indigenous to developed and preserved. In addition to positive impacts, tourism development can lead to problems of culture, namely the culture of excessive exploitation that occurred commercialization. (4) The development of tourism in Indonesia is also a positive impact on Indonesian development especially in terms of vocabulary treasure. For example: agro tourism, apartments, cabin crew, airports, bars, bartender, brochures, Business Travel, cargo, souvenirs, reservations, Diparda, destinations, tourist, tourist destination, ecotourism, embarkation, hotels, restaurants, catering, tourism , passport, foreign exchange, visa, traveler, waiter, guide, buffet, bufe, conscious tourism, Sapta charm, maid service, tour, tourists, tour packages, domestic tourists (wisdom), and foreign tourists (tourists). While such problems are not yet maximum functionality Indonesian language as a means of expressing the components and products of tourism industry.

4.2Saran
National tourism development goal is to achieve sustainable tourism. Therefore, the development of tourism in Indonesia which is based on culture have to be really careful. This means that Indonesian culture must not become victims of tourism development, tourism contrary to a positive contribution to the culture in the broad sense, including the Indonesian language that serves as a means of expressing the Indonesian culture. In this case for Indonesian tourism really reflect on the culture of Indonesia to consider the possibility of using Indonesian and foreign language (English) together. This is where a firm policy is needed to regulate it and also needs a moral responsibility by tourism actors to maintain and preserve the national culture.

REFERENCES
Ardika, I Wayan (Editor). 2003. Sustainable Cultural Tourism: Reflections and
Expectations in the Global Development Center. Denpasar: Master Study Program
(S2) Tourism Studies, Graduate School of Udayana University.

Damardjati, RS 2001. Term-Term World Tourism. Jakarta: Pradnya Paramita.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2001. "Functions of Language and Culture in the glue
United Nations "in Austronesian Languages and Culture: A collection
Seminar. Denpasar: Program Master and Doctoral Studies Linguistics
In collaboration with the Program in Science Studies and Cultural Studies, Graduate
Udayana University.

Geriya, Wayan. 1996. Tourism and Cultural Dynamics of Local, National,
Global: Bunga Rampai Anthropology of Tourism. Denpasar: Upada literature.

Halim, Amran.1980. "Function and Status of Indonesian" in Amran Halim
(Ed.). Political Language Nsional 2. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Keraf, Gorys. 1980. Composition: An Introduction to Language Kemahrian. Ende: Nusa
Beautiful.

Koentjaraninggrat (Ed.). 1985. Human and Culture of Indonesia. Jakarta:
Djambatan.

Nababan, PWJ 1984. Sociolinguistics: An Introduction. Jakarta: PT Gramedia.

Pitana, I Putu Gde and G. Gayatri. 2005. Sociology of Tourism: Review of Sociology
Of Structure, Systems, and Impact-Impact of Tourism. Yogyakarta:
Andi.

Poerwadarminta, WJS 1983. General Dictionaries Indonesian. Jakarta: PN Balai
Libraries.

Sihite, Richarda. 2000. Tourism Industry (Tourism). Surabaya: SIC.

Sitindoan, G. 1984. Introduction to Linguistics and Grammar Indonesian.
Bandung: Pustaka Prima.

Spillane, James J. 1989. Tourism Economic History and prospects. Prints II. New York: Doubleday.

Subhadra, I Nengah. 2006. "Mangrove Forest Ecotourism in Sustainable Tourism Development: Case Studies in the Mangrove Information Center, Pemogan Village, South Denpasar District, Denpasar City". (thesis) S2 Tourism Studies: University of Udayana.

Yoeti, Oka A. 1983. Commercialization of Art Culture in Tourism. Bandung:
Space.

Yoeti, Oka A. 1996. Introduction to Tourism. Bandung: Angkasa.

di 10.17 , 0 Comments

Dampak Pengembangan Obyek Wisata : Dampak Positif dan Negatif

Suatu tempat wisata tentu memiliki dampak dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini dikatakan oleh Gee (1989) dalam bukunya yang berjudul “The Travel Industry”, mengatakan bahwa “as tourism grows and travelers increases, so does the potential for both positive and negative impacts”. (Gee mengatakan adanya dampak atau pengaruh yang positif maupun negatif karena adanya pengembangan pariwisata dan kunjungan wisatawan yang meningkat). Dampak dampak akibat adanya tempat wisata tentu mempengaruhi ke lingkungan sekitarnya dan menurut Lerner (1977) yang dikutip oleh Allister Mathieson and
Geoffrey Wall (1982) dalam ‘Tourism: Social, Economic, Environment Impacts” siapa saja didalam lingkungan tersebut. Lerner menulis seperti berikut “ Environment now includes not just only land, water and air but also encompass to people, their creation, and the social, economic,and cultural condition that affect their lives. Sehingga yang terkena dampak positif dan negatifnya adalah sesuai yang dikatakan oleh Lerner adalah masyarakat, lingkungan, ekonomi dan sosial.
Masyarakat dalam lingkungan suatu obyek wisata sangatlah penting dalam kehidupan suatu obyek wisata karena mereka memiliki kultur yang dapat menjadi daya tarik wisata, dukungan masyarakat terhadap tempat wisata berupa sarana kebutuhan pokok untuk tempat obyek wisata, tenaga kerja yang memadai dimana pihak pengelola obyek wisata memerlukannya untuk menunjang keberlangsungan hidup obyek wisata dan memuaskan masyarakat yang memerlukan pekerjaan dimana membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
Pengembangan suatu obyek wisata yang dilakukan dengan baik akan menghasilkan pendapatan ekonomi yang baik juga untuk komunitas setempat (Joseph D. Fritgen, 1996). Menurut Prof.Ir Kusudianto Hadinoto bahwa suatu tempat wisata yang direncanakan dengan baik, tidak hanya memberikan keuntungan ekonomi yang memperbaiki taraf , kualitas dan pola hidup komunitas setempat, teapi juga peningkatan dan pemeliharaan lingkungan yang lebih baik. Menurut Mill dalam bukunya yang berjudul “The Tourism, International Business” (2000, p.168-169), menyatakan bahwa : “pariwisata dapat memberikan keuntungan bagi wisatawan maupun komunitas tuan rumah dan dapat menaikkan taraf hidup melalui keuntungan secara ekonomi yang dibawa ke kawasan tersebut”.
Bila dilakukan dengan benar dan tepat maka pariwisata dapat memaksimalkan keuntungan dan dapat meminimalkan permasalahan. Penduduk setempat mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya pengembangan obyek wisata, karena penduduk setempat mau tidak mau terlibat langsung dalam aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan kepariwisataan di daerah tersebut, misalnya bertindak sebagai tuan rumah yang ramah, penyelanggara atraksi wisata dan budaya khusus (tarian adat, upacara-upacara agama, ritual, dan lain-lain), produsen cindera mata yang memiliki ke khasan dari obyek tersebut dan turut menjaga keamanan lingkungan sekitar sehingga membuat wisatawan yakin, tenang, aman selama mereka berada di obyek wisata tersebut. Akan tetapi apabila suatu obyek wisata tidak dikembangkan atau ditangani dengan baik atau tidak direncanakan dengan matang, dapat menyebabkan kerusakan baik secara lingkungan maupun dampak-dampak negatif terhadap ekonomi maupun sosial. Menurut Prof Ir Kusudianto Hadinoto (1996) suatu tempat wisata apabila tidak direncanakan dengan baik maka akan menyebabkan kerusakan lingkungan fisik, barang-barang sejarah, dan menimbulkan ketidaksukaan penduduk sekitar terhadap wisatawan maupun obyek wisata tersebut dimana pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi pengelola tempat wisata tersebut. Penulis mengutip pernyataan Coccossis (1996) yang terdapat dalam buku “ Sustainable Tourism Management” karangan Swarbrooke, J (1999) yang tertulis “An important characteristic of interaction between tourism and environment is the existence of strong feedback mechanism : tourism often has adverse effects on quantity and quality of natural and cultural resources”.
Sehingga teori ini memperkuat teori dari Prof Ir Kusudianto Hadinoto tentang hubungan tempat wisata dan lingkungan dimana bila ditangani dengan baik maka akan terjadi peningkatan lingkungan ke arah yang lebih baik tetapi apabila tidak ditangani dengan baik bisa merusak. Berikut adalah dampak-dampak dari pengembangan suatu obyek wisata,
yaitu :
a. Dampak ekonomi
b. Dampak positif pada lingkungan
- Conservation of important natural areas
- Conservation of archeological and historic sites
- Improvement of environment
- Enchantment of the environment
- Improvement of infrastructure
- Increasing environmental awareness
c. Dampak negatif pada lingkungan
- Pollution of environment
- Waste disposal problems
- Damage to archeological and historic pride
d. Dampak positif pada sosial
- Conservation of cultural heritage
- Cross-cultural exchange
- Renewal of cultural pride
e. Dampak negatif pada sosial
- Overcrowding and loss of amenities for residents
- Cultural impacts
- Social problems
Seperti yang tertera di atas bahwa di setiap pengembangan obyek wisata akan mempunyai dampak-dampak. Tetapi pada penelitian ini penulis akan memperdalam dampak ekonomi dan sosial saja, dengan penjelasan di bawah ini :
a. Dampak ekonomi dapat bersifat positif maupun negatif dalam setiap pengembangan obyek wisata. Untuk segi positif dampak ekonomi ini ada yang langsung dan ada juga yang tidak langsung. Dampak positif langsungnya adalah : membuka lapangan pekerjaan yang baru untuk komunitas lokal, baik itu sebagai pegawai bagian kebersihan, kemananan, ataupun yang lainnya yang sesuai dengan kemampuan, skill dari masyarakat sekitar yang bisa dipergunakan oleh pihak PIM, atau dengan berjualan, seperti : makanan, minuman atau voucher hp di sekitar PIM sehingga masyarakat lokal bisa mendapatkan peningkatan taraf hidup yang layak. Selain untuk masyarakat lokal, dampak ekonomi juga akan berpengaruh bagi pemerintah daerah yang akan mendapatkan pendapatan dari pajak. Sedangkan dampak ekonomi yang tidak langsung adalah kemajuan pemikiran akan pengembangan suatu obyek wisata, adanya emansipasi wanita sehingga wanita pun bisa bekerja. Suatu pengembangan obyek wisata apabila diatur, ditata dan dipantau dengan baik tidak akan menghasilkan dampak negatif bagi sektor ekonominya, tetapi apabila tidak dilakukan, diatur, ditata dengan baik maka akan menimbulkan kerugian baik bagi pihak pengembang obyek itu sendiri maupun pihak komunitas lokal daerah setempat.
b. Dampak positif sosial :
- Conservation of Cultural Heritage : adanya perlindungan untuk benda-benda kuno, bangunan sejarah, seni traditional seperti musik, drama, tarian, pakaian, upacara adat. Adanya bantuan untuk perawatan museum, gedung theater, dan untuk dukungan acara-acara festival budaya.
- Renewal of Cultural Pride : dengan adanya pembaharuan kebanggaan budaya maka masyarakat dapat memperbaharui kembali rasa bangga mereka terhadap peninggalan-peninggalan bersejarah ataupun budaya.
- Cross Cultural Exchange : pariwisata dapat menciptakan pertukaran budaya dari wisatawan dengan masyarakat setempat, sehingga membuat para wisatawan mengerti tentang budaya setempat dan mengerti akan nilai-nilai dari tradisi masyarakat setempat begitu pula sebaliknya masyarakat lokal pun bisa tahu tentang budaya dari para wisatawan
tersebut baik yang domestik maupun internasional.

c. Dampak negatif sosial :
- Overcrowding and loss of amenities for residents : setiap pengelola obyek wisata selalu menginginkan tempat wisata untuk menyedot wisatawan baik domestik maupun internasional, tetapi ada hal-hal yang harus diperhitungkan karena apabila suatu obyek wisata terlalu padat, maka bisa menyebabkan hilangnya kenyamanan bagi penduduk setempat dan membuat masyarakat setempat menjadi tidak nyaman dan pada akhirnya akan terbentuk garis batas antara penduduk lokal setempat dengan wisatawan yang terlalu banyak.
- Cultural impacts : karena ingin menyuguhkan sesuatu yang di inginkan wisatawan, tanpa di sadari mereka sudah terlalu mengkomersialkan budaya mereka sehingga tanpa sadar mereka telah mengurangi dan mengubah sesuatu yang khas dari adat mereka atau bahkan mengurangi nilai suatu budaya yang seharusnya bernilai religius. Contoh : upacara
agama yang seharusnya dilakukan dengan khidmat dan khusyuk, tetapi untuk menyuguhkan apa yang diingini oleh wisatawan maka mereka mengkomersialkan upacara tersebut untuk wisatawan sehingga upacara agama yang dulunya khidmat dan khusyuk makin lama makin berkurang. Yang ke 2 adanya kesalahpahaman dalam hal berkomunikasi, budaya, dan nilai agama yang dapat mengakibatkan sebuah konflik.
- Social Problems : adanya percampuran budaya negatif antara wisatawan dengan masyarakat setempat.(Inskeep, 1991)

http://www.tourismbali.blogspot.com/

di 10.07 , 0 Comments

Pengertian E-Commerce

E-commerce atau bisa disebut Perdagangan elektronik atau e-dagang adalah penyebaran, pembelian, penjualan, pemasaran barang dan jasa melalui sistem elektronik seperti internet atau televisi, www, atau jaringan komputer lainnya. E-commerce dapat melibatkan transfer dana elektronik, pertukaran data elektronik, sistem manajemen inventori otomatis, dan sistem pengumpulan data otomatis.

Industri teknologi informasi melihat kegiatan e-dagang ini sebagai aplikasi dan penerapan dari e-bisnis (e-business) yang berkaitan dengan transaksi komersial, seperti: transfer dana secara elektronik, SCM (supply chain management), e-pemasaran (e-marketing), atau pemasaran online (online marketing), pemrosesan transaksi online (online transaction processing), pertukaran data elektronik (electronic data interchange /EDI), dll.

E-dagang atau e-commerce merupakan bagian dari e-business, di mana cakupan e-business lebih luas, tidak hanya sekedar perniagaan tetapi mencakup juga pengkolaborasian mitra bisnis, pelayanan nasabah, lowongan pekerjaan dll. Selain teknologi jaringan www, e-dagang juga memerlukan teknologi basisdata atau pangkalan data (databases), e-surat atau surat elektronik (e-mail), dan bentuk teknologi non komputer yang lain seperti halnya sistem pengiriman barang, dan alat pembayaran untuk e-dagang ini.

E-commerce pertama kali diperkenalkan pada tahun 1994 pada saat pertama kali banner-elektronik dipakai untuk tujuan promosi dan periklanan di suatu halaman-web (website). Menurut Riset Forrester, perdagangan elektronik menghasilkan penjualan seharga AS$12,2 milyar pada 2003. Menurut laporan yang lain pada bulan oktober 2006 yang lalu, pendapatan ritel online yang bersifat non-travel di Amerika Serikat diramalkan akan mencapai seperempat trilyun dolar US pada tahun 2011.

Dalam banyak kasus, sebuah perusahaan e-commerce bisa bertahan tidak hanya mengandalkan kekuatan produk saja, tapi dengan adanya tim manajemen yang handal, pengiriman yang tepat waktu, pelayanan yang bagus, struktur organisasi bisnis yang baik, jaringan infrastruktur dan keamanan, desain situs web yang bagus, beberapa faktor yang termasuk:

1. Menyediakan harga kompetitif
2. Menyediakan jasa pembelian yang tanggap, cepat, dan ramah.
3. Menyediakan informasi barang dan jasa yang lengkap dan jelas.
4. Menyediakan banyak bonus seperti kupon, penawaran istimewa, dan diskon.
5. Memberikan perhatian khusus seperti usulan pembelian.
6. Menyediakan rasa komunitas untuk berdiskusi, masukan dari pelanggan, dan lain-lain.
7. Mempermudah kegiatan perdagangan

Beberapa aplikasi umum yang berhubungan dengan e-commerce adalah:

* E-mail dan Messaging
* Content Management Systems
* Dokumen, spreadsheet, database
* Akunting dan sistem keuangan
* Informasi pengiriman dan pemesanan
* Pelaporan informasi dari klien dan enterprise
* Sistem pembayaran domestik dan internasional
* Newsgroup
* On-line Shopping
* Conferencing
* Online Banking

Perusahaan yang terkenal dalam bidang ini antara lain: eBay, Yahoo, Amazon.com, Google, dan Paypal. Untuk di Indonesia, bisa dilihat tradeworld.com, bhineka.com, fastncheap.com, dll.

* Dari berbagai sumber.
http://www.baliorange.web.id

di 09.58 , 0 Comments