Patung Dalihan Natolu Akan Dibangun Di Samosir

Pemerintah Kabupaten Samosir berencana membuat terobosan baru melalui rencana pembangunan prasasti budaya yaitu Patung Harajaon di Bukit Beta Tuktuk Siadong Kecamatan Simanindo. Pemilihan lokasi Bukit Beta karena lokasi yang cukup strategis sebagai salah satu pintu masuk ke lokasi objek wisata Kabupaten Samosir. Untuk mengantisipasi pemikiran dan presepsi yang berbeda dikalangan Masyarakat khususnya masyarakat Batak di parserahan dan di Bona Pasogit.


Pemerintah Kabupaten yang disponsori oleh PT. Wijaya Bina Cipta Karya melakukan seminar di Jakarta dengan tema ”Sosialisasi Pembangunan Prasasti Sejarah Asal Muasal Suku Batak Patung Dalihan Na Tolu Sebagai Basis Pengembangan Industri Kreatif dan Parawisata Diharapkan akan tumbuh keinginan yang kuat, untuk peduli dan menghargai serta melestarikan sejarah dan budaya Batak menjadikan Aset yang bernilai tinggi dan unik”. Diharapkan ke depan akan dibangun di pintu masuk desa-desa di Kabupaten Samosir demikian dikatakan Bupati Samosir, Ir. Mangindar Simbolon, Selasa (20/10) di Hotel Bumi Karsa Jakarta. Hadir dalam seminar tersebut, Tokoh Adat dan Budaya Batak Doangsa Situmeang, Penulis buku Budaya Batak Bisuk Situmeang, Tokoh Masyarakat Batak Benny pasaribu, Tokoh Adat dan Marga Duaman Panjaitan, Sutradara Edward Pesta Sirait, Pengusaha Kerajinan Ulos Batak Martha Ulos, Dirut Inticom Ir. Tigor Situmorang, MBA, Tokoh Pengurus punguan Marga Simbolon Mayor Simbolon, Tokoh Pers dan Tokoh Adat Ronald Sihombing, Designer Nasional berbasis ulos Batak Merdi Sihombing, Wartawan Senior SIB Jamida Pasaribu dan Jajaran Pemerintah Kabupaten Samosir.

Sebagai pembicara utama Uskup Agung MGR. DR. AB Sinaga, dengan topik pembahasan legenda sejarah asal muasal Suku Batak dalam prasati patung Si Tolu Harajaon (Dalihan Na Tolu) dalam mempersiapkan permulaan era baru, peta baru, pendekatan baru dan nantinya akan dilanjutkan pada ke depan yang memiliki konsep injil dalam bentuk transedensi dan imanensi.

Lebih lanjut Uskup Agung Medan mengatakan, Saya adalah orang Khatolik. Theology Khatolik ialah bahwa segala nilai baik dalam budayanya itu berasal dari Allah tetapi itu tidaklah sempurna, kepenuhan dan kesempurnannya dalam Yesus Kristus. Maka dari itu saya menekankan bahwa tidak ada Sipele Begu bagi orang Khatolik semua menyembah Allah tapi tidak sempurna terpaut dengan dosa tan-tanan ( dosa bawaan-red). Dalam ilmu theologia hal ini dikatakan sebagai sperma-spermatikos atau benih-benih sabda dalam budaya.

”Terus terang saya bukan pengikut Nomensen yang membuat Huta Dame dengan pembatasan antara orang kristen dengan Sipele Begu dan ini harus saya hapuskan dari kalimat saya tetapi tugas kita adalah untuk menyempurnakan segala yang kotor oleh dosa asal itu. Pada dasarnya seperti kata konsili Vatikan kedua, mereka telah dibimbing oleh Allah dalam perjalanan yang gelap karena dosa tetapi Allah tidak akan meninggalkan mereka maka dari itu saya berkata, bahwa pembakaran ulos tidak berlaku bagi orang Khatolik.” katanya

Pada sesi kedua dihadirkan tiga pembicara sekaligus yakni, Dosen Seni Rupa UNIMED Drs. Syahruddin Harahap M.Si, mengatakan dalam paparannya mengenai pemahaman dan pemaknaan estetika ornamen habatakon untuk arsitek patung Siharajaon (Dalihan Natolu). Dr. Daulat Saragih M.Hum yang juga Dosen Filasafat UNIMED memaparkan tentang manfaat dan kegunaan pembangunan prasasti sejarah asal- muasal suku Batak patung Sitolu Harajaon dan aplikasinya dalam kehidupan masyarakat Batak sehari-hari. Selanjutnya Dr. HP Panggabean SH, M.S seorang tokoh masyarakat dan pakar hukum menyampaikan pembahasan soal harmonisasi kehidupan suku Batak yang didukung nilai-nilai adat dan budaya serta manajement konflik dalam ajaran budaya Batak dalihan Natolu.

Dalam Kesempatan itu Bupati Samosir Ir. Mangindar Simbolon mengatakan agar supaya masyarakat Batak dapat berkenaan memberi perhatian dan partisipasinya dalam kemajuan pembangunan Samosir sebagai tanah leluhur bangso Batak, dan secara khusus sangat mendukung rencana pembangunan prasati sejarah dan budaya patung Si Tolu Harajaon.

Disamping itu Bupati Samosir hal-hal bebrapa kendala pembangunan, terkait dengan persoalan tanah ulayat, tanah adat. Mendengar keluhan ini para peserta seminar turut merasa prihatin. Hal ini terungkap dari pernyataan-pernyataan peserta yang lebih condong pada dukungan moral supaya Pemdakab Samosir bertindak lebih arif dan pintar-pintar menghadapinya serta tetap memelihara kedamaian sesuai tradisi budaya yang berlaku. Lebih tegas Bupati Samosir tentang masalah tanah ulayat atau tanah adat atau tanah lainnya di Samosir menyatakan tidak akan menjual ke pihak asing. ”Setapak pun tanah di Samosir tidak akan di jual kepada pada orang asing, tapi kita berharap tanah-tanah itu dimanfaatkan untuk mengembangkan pembangunan dan pembangunan samosir sangat membutuhkan investor”, jelasnya.

”Tapi seandainya ada investor yang tertarik melakukan Investasi di Samosir dan membutuhkan lokasi atau atau tanah pengembangan pembangunan maka Pemdakab Samosir siap mengatur kerja sama penggunaan lahan tanah dengan kontrak sementara. Untuk itu kita sudah menyusun rancangan perda khusus mengatur hal kontrak penggunaan tanah termasuk rancangan tanah ulayat dan adat sehingga dengan demikian tidak perlu diragukan tanah di Samosir dan tidak akan menjadi milik orang lain”, lanjutnya.

Pada akhir acara seminar, Panitia membuat rumusan-rumusan kesepakatan bersama oleh pejabat pemerintah, tokoh masyarakat Batak yang mewakili semua pihak dan marga serta membuatakan surat pernyataan kesepakatan bersama untuk pembangunan tanah leluhur bangso Batak.(RS)

Sumber : http://anaksamosir.blogspot.com

Selasa, 06 April 2010 di 11.10 , 0 Comments

Agama Traditional Batak

Berbagai budaya Batak berbeda dalam pra-Kristen ide-ide keagamaan mereka seperti yang mereka lakukan dalam banyak aspek-aspek budaya lain. Ada informasi lengkap tentang ide-ide keagamaan tua dari Mandailing dan Angkola di selatan Tanah Batak, dan sangat sedikit yang diketahui tentang agama dari Pakpak dan Batak Simalungun. Untuk Toba dan Karo di sisi lain bukti dalam tulisan-tulisan misionaris dan kolonial relatif berlimpah. Informasi tentang bentuk-bentuk tradisional Batak agama berasal terutama dari tulisan-tulisan misionaris Jerman dan Belanda yang menjadi semakin hilang dengan kepercayaan Batak menjelang akhir abad ke-19.
Berbagai pengaruh mempengaruhi Batak melalui kontak mereka dengan Hindu, Budha atau pedagang Jawa dan pemukim di selatan Tanah Batak, atau timur dan pantai barat dekat Barus dan Tapanuli. Kontak ini berlangsung berabad-abad lalu dan tidak mungkin untuk merekonstruksi seberapa jauh ide-ide keagamaan asing ini diadopsi dan ditulis ulang oleh orang Batak. Banyak elemen dari agama Batak kembali ke kontak ini, atau setidaknya yang sangat dipengaruhi oleh mereka

Mitos penciptaan

Ada banyak versi yang berbeda dalam sirkulasi. Dulunya ini diturunkan sepenuhnya oleh tradisi lisan, namun kini telah ditulis dalam bahasa lokal. Ada juga koleksi besar cerita-cerita Batak yang dikumpulkan oleh sarjana Eropa sejak pertengahan abad ke-19 dan dicatat dalam bahasa-bahasa Eropa, terutama Belanda

Pada awalnya hanya ada langit dengan laut yang besar di bawahnya. Di langit tinggal para dewa dan laut adalah rumah bawah tanah yang besar yaitu naga, Naga Padoha. Bumi belum ada dan manusia juga, masih belum diketahui. Semua catatan mitos-mitos yang masih hidup bahwa pada awal penciptaan dewa mula Djadi Na Bolon. Asal-Nya masih belum jelas. Terjemahan kasar dari nama adalah “awal menjadi”. Penciptaan segala sesuatu yang ada dapat ditelusuri kembali kepadanya. Djadi mula hidup di atas dunia yang biasanya dianggap sebagai dibagi menjadi tujuh tingkat. Ketiga anaknya, Batara Guru, Soripada dan Mangalabulan lahir dari telur diletakkan oleh induk ayam dibuahi oleh Mula Djadi. Dua bertindak sebagai utusan dan pembantu untuk Mula Djadi dalam tindakan penciptaan.

Fungsi mereka bervariasi dalam versi yang berbeda. mula Djadi melahirkan tiga anak perempuan yang ia beri sebagai istri bagi ketiga putranya. Manusia adalah hasil dari kesatuan dari tiga pasangan. Selain ketiga anak Dari Mula Djadi ada tuhan lain, Asiasi, yang tempat dan fungsi dalam dunia dewa-dewa sebagian besar masih belum jelas. Ada beberapa bukti bahwa Asiasi dapat dilihat sebagai keseimbangan dan kesatuan trinitas dewa.

Penguasa dunia bawah tanah, yaitu laut purba, adalah ular-naga Naga Padoha. Dia juga ada sebelum awal dan tampaknya menjadi lawan Mula Djadi. Sebagai penguasa dunia bawah, Naga Padoha juga memiliki fungsi penting dalam penciptaan bumi.

Apa semua enam dewa sejauh ini disebutkan mempunyai kesamaan adalah bahwa mereka memainkan peran yang kecil dalam ritual. Mereka tidak menerima korban persembahan dari pengikutnya dan tidak ada tempat pengorbanan dibangun untuk mereka. Mereka hanya disebut di dalam doa-doa untuk membantu dan bantuan

Asal usul bumi dan umat manusia terutama berhubungan dengan putri Batara Guru, Sideak Parujar, yang merupakan pencipta bumi sebenarnya. Ia melarikan diri dari tunangannya, berbentuk kadal putra Mangalabulan, dan membiarkan dirinya di atas sebuah benang yang berputar dari langit ke dunia tengah yang pada waktu itu masih hanya berair limbah. Dia menolak untuk kembali tapi merasa sangat bahagia. Karena kasihan Mula Djadi mengirimkan cucunya segenggam bumi sehingga ia dapat menemukan tempat tinggal. Sideak Parudjar diperintahkan untuk menyebar bumi ini dan dengan demikian bumi menjadi lebar dan panjang. Tapi sang dewi tidak dapat menikmati istirahat lama. Bumi telah tersebar di kepala Naga Padoha, naga dari bawah yang tinggal di dalam air. Dia mengerang karena tekanan berat bumi pada badannya dan berusaha untuk menyingkirkan dengan berguling-guling. Bumi pun melunak oleh air dan seolah-olah akan menghancurkan bumi. Dengan bantuan Dari Mula Djadi dan oleh Sideak Parudjar mampu mengatasi naga. Dia mengulurkan pedang ke tubuh Naga Padoha sampai gagangnya dan membaringkannya di blok besi. Setiap kali Naga Padoha berputar dalam belenggu, gempa terjadi.

Setelah berbentuk kadal yaitu putra Mangalabulan, suami para dewa yang ditujukan untuk dirinya, telah mengambil nama lain dan bentuk lain, Sideak Parujar mengawininya. Sideak Parujar menjadi ibu dari si kembar yang berbeda jenis kelamin. Ketika keduanya telah tumbuh dewasa orangtua ilahi mereka kembali ke dunia atas meninggalkan pasangan di bumi. Manusia adalah hasil dari incest mereka. Pasangan menetap di Pusuk Buhit, sebuah gunung berapi di pantai barat Danau Toba, dan menemukan desa Si Anjur Mulamula. Mitologi nenek moyang Batak, Si Raja Batak adalah salah satu cucu mereka

Sumber : http://pungsin.wordpress.com/

di 11.01 , 0 Comments

2.000 Naskah Adat Batak Berada Di Belanda Dan Jerman

Sekitar 2.000 lebih naskah asli adat Batak dan 1.000 di antaranya terbuat dari kulit kayu saat ini berada di negeri Belanda dan Jerman. Profesor. Dr. Uli Kozok MA dari University of Hawaii, Minoa, Amerika, di Medan, Kamis [27/11], mengatakan, ribuan naskah asli adat Batak tersebut dibawa ke luar negeri ketika masa penjajahan Belanda dan masa Zending I.L Nomensen di tanah Batak.

Saat ini baru dua naskah yang bisa diakses untuk umum karena telah diolah dalam bentuk digital, sementara selebihnya belum dapat diakses karena masih dalam bentuk asli dan dikuatirkan akan rusak jika diakses untuk umum.

“Isinya pada umunya berupa instruksi atau tatacara upacara ritual keagamaan, cara mengalahkan musuh dalam peperangan, puisi-puisi cinta, dan tradisi, serta budaya Batak lainnya,” katanya.

Ribuan naskah tersebut lebih aman dan terjamin kelestariannya jika berada di luar negeri, karena kalau di luar negeri peluang untuk diperjualbelikan atau disalahgunakan oleh pihak-pihak tidak bertanggung jawab jauh lebih kecil.

“Selama ini di Indonesia banyak benda budaya yang seharusnya dirawat tetapi malah diperjualbelikan. Makanya lebih baik naskah-naskah asli tersebut lebih aman jika berada di luar negeri,” katanya.

Menurut ahli sejarah itu, pembuatan naskah dan budaya Batak dalam bentuk digital dewasa ini sangat diperlukan, mengingat setiap naskah yang berada di luar negeri itu tidak mudah dibawa kembali ke Indonesia. “Kalau sudah dalam bentuk digital akan mudah diakses oleh siapa saja termasuk juga oleh ilmuan-ilmuan yang meneliti lebih jauh tentang adat-istiadat suku Batak,” katanya.

Sumber : http://pungsin.wordpress.com/

di 10.59 , 0 Comments

Kebudayaan Batak : Gondang Naposo

Gondang Naposo sering juga disebut Pesta Naposo, namun perbedaannya tidak semua pesta naposo selalu diiringi dengan gondang. Ada pesta naposo dilakukan saat akan dilakukan perkawinan. Biasanya pesta naposo seperti ini dilakukan sehari sebelum acara pesta perkawinan itu.

Gondang Naposo adalah sarana membina hubungan generasi muda dan pematangan jiwa kemandirian dan tidak jarang menjadi ajang penemuan jodoh.

Pada dasarnya acara gondang naposo tidak semata-mata urusan naposo saja. Dari tradisi lama, acara seperti ini justru diprakarsai oleh orang tua, dan pembiayaan digalang oleh penduduk sepempat.
Naposo belum bisa “pahundul” pargonsi menurut cara taradisi batak. Pargonsi hanya dapat “masisisean” dengan pengetua dari “suhut”.
Pargonsi yang diundang itu lebih dulu “masisisean” dengan “hasuhuton” apa gerangan mereka diundang?

Suhut menjawab ; Bahwa di bulan purnama ini mereka berniat memberikan peluang bergembira bagi anak-anak mereka, kiranya mereka semakin dewasa, mendapat jodoh yang belum ada jodoh, “manogu na di lambung, manghilap di nadao”, merapat ke yang dekat memanggil kepada yang jauh. Kiranya generasi ini menjadi kebanggaan bagi orang tua, “panunduti” di harajaon “panorusi” di “hagabeon” generasi pemimpin dan pengembangan (populasi) klan. Manumpak Mulajadi (Tuhan Yang maha Esa) “dilehon hahipason dohot hapantason” diberi kesehatan dan kebijaksanaan yang utuh.

Gondang Naposo biasanya dilakukan saat bulan purnama setelah usai upacara Asean Taon. Mangase taon biasanya setelah panen raya. Asean taon merupakan “hari raya” besar bagi orang Batak tempo dulu. Di berbagai daerah ada yang benyebut Pesta Bius, pasahat Horbo Bius, Patasumangot dll menurut kebiasaan penyebutannya.

Inilah acara mamuhai gondang atau “mambuat tua ni gondang” Pargonsi memainkan gondang sipitulili tanpa ada yang menari. Setelah itu para orangtua bersama naposo “hasuhuton” menari bersama. Setelah mambuat tua ni gondang selesai, acara diserahkan sepenuhnya kepada Naposo. Selama acara berlangsung. Para orang tua tetap melakukan pemantauan, agar tidak melenceng dari aturan etika kesopanan dan ketertiban.

Minimal acara gondang naposo dilaksanakan 2 hari. Hari pertama mambuat tua ni gondang dimulai sejak sore hari. Semua naposo “hasuhuton” menari sepuasnya disini dan kadang mengajak para orang tua menari bersama. Disini kesempatan khusus memberi berkat kepada anak-anak mereka, bergembira menari dengan tata kesopanan yang sudah baku. Mereka dimatangkan “manortor” yang baik, “maminta” gondang yang runtut.
Hari kedua adalah ; pagi hari, memeberi kesempatan kepada naposo “mamuhai” memulai acara tortor bagi mereka dan dilanjutkan kepada para undangan hingga siang dan sore.

Para undangan umumnya dari naposo tetangga “huta” dan luat yang lebih jauh. Luat yang lebih jauh umumnya yang ada hubungan kekerabatan dengan klan “hasuhuton” itu. Misalnya generesi muda dari klan “bona ni ari, boru natuatua” dan yang berkaitan dengan persaudaraan klan itu.

Setiap rombongan undangan memenuhi panggilan “manortor” selalu membawa persembahan kepada naposo hasuhuton yang disebut “santisanti” berupa uang yang dimasukkan dalam “tandok” kecil, atau dengan diletakkan diatas “pinggan” berisi beras. Naposo hasuhuton menyambutnya dengan tarian hingga lokasi menari. Santisanti diberikan dengan tarian oleh yang pandai menari, dan pihak naposo hasuhuton juga mempersiapkan sambutan dengan penari pilihan juga.

Bila naposo dari pihak bona ni ari atau “tulang” mempersilahkan para “iboto” mereka menari, bahwa itu pertanda kepada naposo “baoa” lakilaki dari hasuhuton untuk melirik, mengajak menari. Gaya menari naposo yang kecantol dan mendapat sambutan biasanya dilanjutkan dengan tari kedua. Disini langkah pematangan pemberian signal apakah saling menyukai. Dari tarian itu dapat dilihat yang menerima dan yang menolak. Bila diterima, maka sang pria menyematkan daun beringin di kepala “paribannya” itu. Begitu pula sebaliknya, pihak naposo hasuhuton akan memberikan kesempatan kepada para “iboto” mereka menari. Ini pemberian kesempatan kepada naposo pria dari klan “boru natua tua” atau amang boru untuk melampiaskan hasrat kasihnya kepada paribannya dengan gaya tarian yang memukau dan menaklukkan.

Bila kasih terjalin, cinta tersambung, maka pihak orang tua yang terus mengamati akan mencatatkan dalam agenda mereka dan melakukan penelusuran lanjutan. Para orang tua tidak bisa membiarkan kisah itu berjalan sendiri dan itu menjadi tanggungjawab yang harus diahkiri baik atau buruk.

Peristiwa seperti ini juga dapat terjadi pada saat pesat “turun” Sebuah upacara pemakaman kembali tulang belulang ke “batu napir” dalam tradisi batak lama.

Bila upacara selesai sampai sore hari kedua, maka kembali kepada orangtua “hasuhuton” untuk menutup acara. Mereka adalah “sihorus nagurgur siambai nalonga” memenuhi yang kurang memaafkan yang berlebih dari semua acara yang dilakukan naposo tadi.

Kemampuan berstruktur, kematangan jiwa, ekspresi batin, lobby, diplomasi, kepemimpinan, dan pemupukan persaudaraan sejati tertempa melalui gondang naposo yang mengacu kepada kearifan leluhur. Dan itu sudah dilakukan sejak lama, konon lama sudah ditinggalkan.

http://samosir.info

di 10.56 , 0 Comments

BERBAGAI PENILAIAN TERHADAP ORANG BATAK

1. Orang Batak menurut Paranormal Permadi, SH.

Memang di situlah anehnya. Orang Batak itu kasar dan brutal, tetapi hatinya halus. Makanya lagu-lagu Batak itu ”nangis manganung”. Semua merintih. Jadi orang Batak itu sebenarnya cengeng, fisiknya saja yang kuat. Itulah yang mendekatkan saya dengan Batak. Kita punya persamaan.

Bagaimanapun, penilaian Permadi diwarnai nuansa negatif dan positif. Kesan positif itu antara lain sifat bekerja keras, habis-habisan siang malam. Tetapi sisi lain, orang Batak juga menunjukkan sifat tak sabaran, cenderung menempuh jalan pintas dan malas, apalagi kalau dalam keadaan menganggur.

Kelihatannya, orang Batak itu sulit menciptakan pekerjaan. Dia harus diberi pekerjaan. Dan sesudah pekerjaan diperoleh, dia akan benar-benar bekerja keras, banting tulang. Tetapi kalau tak ada pekerjaan, mereka malas-malasan, akhirnya main judi, minum-minum di warung atau lapo tuak. Jadi, orang Batak suka pekerjaan- pekerjaan keras yang dipercayakan kepadanya, makanya, seperti di Jakarta ini, banyak yang menjadi kuli atau kondektur.

Sifat positif kedua ialah sifat gotong royong. Tetapi bila kadar sifat ini telalu tinggi, akhirnya bisa berakibat negatif. Misalnya, begitu ada seorang Batak menjadi pejabat, maka bagaikan semut, semua kerabatnya akan mengerubunginya. Kadang muncullah sifat kurang terpuji. Bila si pejabat tidak memberi sesuai dengan harapan, lalu diomongin dan dibilang sombong.

Kejujuran, keterbukaan, dan sikap terus terang, termasuk dalam mengkritik orang lain, juga dinilai Permadi sebagai sifat yang positif. Tetapi sifat yang sangat positif ini telah tenggelam menjadi tidak positif karena dominasi Jawa yang marah kalau dikritik terus terang. Keadaan bukannya balance, tapi orang Batak justru banyak yang ketularan orang Jawa. Sifat ketularan ini dengan jelas terlihat pada seorang Batak yang menjadi pejabat- dan banyak pejabat orang Batak yang beristrikan orang Jawa.

Si Batak yang menjadi pejabat ini akan ikut-ikutan budaya Jawa. Kalau ketemu pejabat, dia akan megang burungnya, ngomong dengan menunduk, tidak mau lagi melihat wajah lawan bicara.

Mantan menteri Kehutanan Hasjrul Haahap pernah pernah mengkritik saya. Katanya; kau ini aneh, kau yang jadi Batak, saya jadi Jawa. Tetapi setelah ia tidak menteri lagi, ia kembali menajdi Batak, ha ha ha…

Sementara itu, sifat sombong, gengsi dan harga diri orang Batak yang tinggi itu dinilai relatif oleh Permadi. Tergantung pada kemampuan seseorang menempatkan posisinya. Bisa positif bisa negatif. Sebab, harga diri yang tinggi itu sebenarnya positif. Untuk bisa melakukan tawar-menawar ( bargaining position) diperlukan harga diri yang tinggi atau kesombongan yang benar. Tetapi celakanya, justru terjadi di sini, orang Batak sering meremehkan ( prestasi atau kemampuan) orang lain. Padahal kalau diberi kesempatan, belum tentu bisa dia mencapai prestasi seperti itu.

Gaya hidup seperti raja ( walaupun miskin), suka memerintah orang, ngutang demi gengsi dan berpikir pendek juga merupakan ekses negatif dari harga diri yang tinggi itu. Saya tahu banyak orang Batak yang mengutang demi gengsi. Tak peduli, yang penting bisa hidup seperti raja karena memang semua lelaki Batak suatu saat akan menjadi raja. Jadi, dalam hal ini ada kesalahan dalam mengappresiasi nilai-nilai budaya.

Permadi menegaskan, dalam pembangunan kebudayaan nasional yang besifat Bhinneka Tungal Ika, budaya Batak adalah aset nasional. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya Batak yang unggul harus diinventarisasi dan dikembangkan.

Kita tahu, di bidang seni, Batak itu unggul. Di bidang sumber daya alam, wilayah Tanah Batak juga sangat kaya. Tidak ada tanah sesubur itu, terutama dalam bidang perkebunan, seperti kopi, teh, karet. Tetapi yng memprihatinkan, rakyatnya miskin, itu karena mereka kurang kreatif. Kalau di Jawa, tanah koong seperti itu pasti sudah jadi sawah atau perkebunan.

Permadi menyarankan agar potensi kekayaan alam dan budaya dikembangkan dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Rakyat harus diberi kesempatan untuk mengolah tanahnya sendiri, jangan justru diserahkan kepada orang luar.

2. Penilaian lainnya

Hasil pengamatan Eliakim Tambunan :

Budaya Parhobas sedang luntur : Lunturnya budaya memberikan pelayanan ” parhobas” ini sudah terasa merambat ke kalangan aparat pemerintah daerah. Misalnya jika bicara tentang mempersiapkan data keperluan proposal proyek, aparat bersangkutan tidak lekas tergerak kalau merasa pelaksanaan proyek itu nantinya jatuh ke tangan orang lain, atau bukan kelompoknya yang mengerjakannya. Ini bekaitan dengan sifat ”elat” atau tidak suka kalau orang lain mendapat rezeki.

DR. Meyer Siahaan :

Pola Hidup Konsumtif sudah masuk desa :

Gejalanya: Generasi muda di Bonapasogit makin banyak nongkrong di lapo tuak berlama-lama, dan uang yang dibelanjakan lebih banyak dari pendapatannya. Kemudian, untuk menempuh jarak hanya 3-5 km tidak mau lagi berjalan kaki, langsung naik angkot. Orang yang diajak bekerjasama ( bermitra) langsung menuntut ada sepeda motor

Prof. DR. Midian Sirait :

Mempertanyakan, apakah sesungguhnya masih ada kebudayaan Batak itu?

Memperhatikan kalau hari Minggu, anak-anak muda bukannya pergi beribadah ke Gereja, tetapi lebih senang pergi nonton. Pada hari-hari biasa, belum waktunya pulang sekolah, tetapi sudah nongkrong di jembatan. Kepala kampung lulusan SMA, tetapi kerjanya hanya main catur di lapo Tuak. Raja-raja adat tidak berprilaku seperti raja, kecuali di waktu pesta perkawinan, Dia tidak panutan lagi, sudah kehilangan wibawa. Begitu juga para pengurus Gereja, kenapa terus berkelahi ? Jadi sepertinya tidak ada lagi yang pedulu tentang nilai-nilai budaya Batak.

Drs. Jhonson Pardosi ( Staf Pengajar Program Studi Sastra Batak- USU):

Di kota-kota besar, sudah jarang generasi muda Batak Toba yang dapat berbahasa Batak. Mereka tidak mengerti kalau tonggo-tonggo itu adalah bentuk doa dan andung itu bukan ratapan semata. Mereka hanya tahu kalau tonggo-tonggo itu hanya merupakan doa untuk roh-roh jahat dan untuk roh nenek moyang.

Padahal kalau disaksikan di lapangan, misalnya dalam hal penggunaan tonggo-tonggo dalam acara keagamaan ( Parmalim, Parbaringin dan Si Raja Batak) tidak sama dengan tonggo-tonggo yang dipakai dalam acara horja atau pesta besar. Begitu juga dengan andung, bukan hanya ratapan karena kematian, kepedihan hati, penyesalan dan kebahagiaan. Tetapi masih ada yang disebut andung paragat, andung parmahan, andung parhaminjon ( andung penyadap nira, gembala kerbau, dan penyadap kemenyaan) yang semuanya itu bagian dari budaya.

Bah! Lebih parah lagi, banyak para tua-tua adat yang tidak tahu membedakan antara Umpama dengan Umpasa.

Kesimpulan :

Artikel ini ditujukan kepada kita orang Batak, apakah sekarang orang batak seperti tanggapan orang-orang tersebut diatas, banyak tanggapan yang negatif tentang orang Batak.

Kita tidak perlu marah atau sakit hati bila membaca tanggapan mereka, marilah kita introspeksi diri kita sendiri, apakah benar kenyataan seperti itu, kalau memang benar, marilah kita mulai sekarang mencintai budaya kita sendiri, memelihara adat-istiadat yang tidak bertentangan dengan agama yang kita anut dan kehidupan sosial bermasyarakat, jangan malu mengaku sebagai orang batak, Batak orangnya keras tapi hatinya lembut itu sudah banyak orang tahu.

Sumber : http://pungsin.wordpress.com/
Majalah Bona ni Pinasa, Maret 1995

di 10.52 , 0 Comments

DTW Tomok

Konon berdasarkan kepercayaan masyarakat Batak dari bukit inilah untuk pertama sekalinya pencipta alam semesta menampakkan diri, yang dinamakan oleh orang Batak dengan sebutan Mula Jadinabolon. Sehingga wajar kalau sampai sekarang kawasan ini masih keramat dan dijadikan salah satu kawasan tujuan wisata sejarah.

Memang membincangkan potensi wisata Toba Samosir tampaknya tidak akan pernah merasa puas, apalagi jika perjalanan itu baru pertama kalinya. Hal ini wajar karena potensi yang mereka miliki memang sangat kaya terutama soal keindahan alam. Apalagi dipadukan dengan cerita sejarah, boleh dibilang daerah ini adalah salah satu lumbung dari cerita sejarah yang bisa menemani perjalanan wisata Anda. Dari sekian banyak yang bisa dinikmati misalnya Batu Hobon, Sopo Guru Tatea Bulan, Perkampungan Siraja Batak, Pusuk Buhit, dan lainnya.

Dari atas perbukitan ini, sebagai wisatawan yang baru pertama berkunjung ke sana pastilah akan tertegun sejenak. Karena selain panorama yang disajikan memang sangat indah, kita juga bisa melihat secara leluasa sebahagian besar kawasan perairan Danau Toba sekaligus Pulau Samosirnya. Selain itu dari lereng perbukitan tersebut pengunjung yang datang bisa juga menikmati panorama perkampungan yang berada di antara lembah-lembah perbukitan seperti perkampungan Sagala, Perkampungan Hutaginjang yang membentang luas.

Selain pemandangan ini, wisatawan yang pernah datang ke sana tentunya akan melihat dan mendengar gemercik aliran air terjun yang berada persis di perbukitan berdekatan dengan perkampungan Sagala. Masih dari lereng bukit yang jalannya berkelok-kelok tetapi sudah beraspal dengan lebar berkisar 4 meter, pengunjung juga bisa memperhatikan kegiatan pertanian yang dikerjakan oleh masyarakat sekitarnya. Malah yang lebih asyik lagi adalah menikmati matahari yang akan terbenam dari celah bukit dengan hutan pinusnya.

Untuk mencapai puncak bukit tersebut, pengunjung bisa menggunakan bus roda empat maupun kenderaan roda dua. Namun bus yang dipergunakan tidak bisa sampai di puncak sehingga harus berjalan kaki berkisar 500 meter dari titik akhir parkir kenderaan yang berada di Desa Huta Ginjang, Kecamatan Sianjur Mula-Mula. Namun demikian sikap waspada harus tetap dipasang, karena memang jalan yang berkelok-kelok tersebut di kanan dan kirinya selalu ada jurang yang terjal. Selain itu sebelum menuju Pusuk Bukit, dari kawasan Pangururan pengunjung bisa menikmati secara utuh pemandangan bukit dengan latar depan air Danau Toba.

Sementara itu, satu paket dengan perjalan menuju ke puncak Pusuk Buhit pengunjung juga bisa menikmati apa yang disebut dengan sumur tujuh rasa. Disebut sumur tujuh rasa karena memang sumur ini memiliki tujuh pancuran yang memiliki rasa air yang berbeda-beda. Bagi masyarakat sekitar Sumur Tujuh Rasa tersebut sehari-harinya dipergunakan sebagai sumber utama air bersih. Sehingga tidak mengherankan kalau wisatawan datang, banyak masyarakat yang menggunakan air yang berada di sana.
Sumur Tujuh Rasa sebenarnya berada di Desa Sipitudai satu kecamatan dengan perbukitan Pusuk Buhit yaitu Sianjur Mula-Mula. Kalau kita mencoba untuk merasakan ketujuh air mancur yang ada, maka dari sumber air mancur itu akan kita rasakan air yang terasa: asin, tawar, asam, kesat serta rasa yang lainnya. Sementara berdasarkan keterangan masyarakat setempat, sumber air yang mancur itu keluar dari mata air yang berada di bawah Pohon Beringin. Memang di bawah lokasi Sumut Tujuh Tersebut tumbuh besar pohon beringin yang sangat rindang dan membuat teduh sekitar lokasi sumur.

Keberadaan Sumur Tujuh Rasa ini sebenarnya sudah lama seiring dengan keberadaan masyarakat perkampungan Sipitudai. Masyarakat sekitar mempercayai kalau keberadaan sumur ini tidak terlepas dari cerita raja Batak yang berada di lokasi tersebut. Kalau cerita muncur ke belakang, maka masyarakat menyebutkan bahwa dulu diperkampungan ini ada kerajaan. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, mandi serta lainnya mereka mengandalkan sumber air ini.

Cerita ini mungkin ada benarnya, sebab kalau kita amati secara teliti di lokasi yang telah disekat dengan tembok beton oleh masyarakat sekitar akan kita temukan peniggalan seperti batu cucian dari batu alam, lubang-lubang untuk permainan congkak. Jadi, masyarakat yang ada memang mempercayai kalau sumur ini masih keramat dan menjadi salah satu objek yang sering dikunjungi wisatawan yang datang. Hanya satu catatan yang penting untuk lokasi ini adalah masalah penataan dan kebersihan yang memang belum memasyarakat. Tentunya kondisi ini menjadi catatan tersendiri bagi pemda dan masyarakat untuk melakukan penaaan yang lebih baik lagi.

Setelah bergerak menyusuri jalanan yang ada berkisar,maka wisatawan yang berkunjung akan menemukan satu lokasi yang keramat yang disebut lokasi Batu Hobon, Sopo Guru Tatean Bulan atau Rumah Guru Tatea Bulan serta perkampungan Siraja Batak yang lokasinya tidak berjauhan. Dan bila kita tarik garis lurus, maka posisi ketiga lokasi yang masih dianggap keramat ini persis lurus dari satu perbukitan ke perbukitan yang berada di bawahnya. Ketika berada di Sopo Guru Tatea Bulan akan ditemukan patung-patung Siraja Batak dengan keturunannya. Di rumah dengan desain khas masyarakat batak ini juga akan ditemukan patung-patung sebagai penjaga rumah seperti gajah, macan, kuda. Sementara rumah yang berdiri di atas bukit ini didesain dari kayu dan tangga dari batu tetapi atapnya tetap terbuat dari ijuk. Namun yang lebih penting lagi adalah ketika ingin masuk dan memperhatikan lebih detail lagi seluk rumah ini, maka Anda harus melepaskan sandal maupun sepatu.

Secara lebih detail di Sopo Guru Tatea Bulan akan kita temukan patung-patung keturunan Siraja Batak, seperti Patung 1.000 raja sepasang dengan istrinya, Patung keturunan Limbong Mulana, Patung Segala Raja serta Patung Silau Raja. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Batak marga-marga yang ada sekarang ini berasal dari keturunan Siraja Batak. Selain itu keberadaan rumah ini juga telah diresmikan oleh DewanPengurus Pusat Punguan Pomparan Guru Tate Bulan tahun 1995 yang lalu. Artinya ketika kita berada di sana akan ditemukan juga penjaga yang akan menjelaskan keberadaan patung yang berada di Sopo Guru Tatea Bulan serta sejarah ringkasnya.

Sejalan dengan legenda itu, pengunjung juga akan menikmati Batu Hobo yang konon menurut cerita merupakan lokasi yang dijadikan penyimpanan harta oleh Siraja Batak. Batu ini berada perbukitan yang lebih rendah lagi dari Sopo Guru Tatea Bulan berdekatan dengan perkampungan masyarakat. berdasarkan sejarah Batu Hobon ini tidak bisa dipecahkan, tetapi kalau dipukul seperti ada ruangan di bawahnya.

Namun sampai sekarang tidak bisa dibuka walaupun dilakukan dengan peledakan mortir. Selanjutnya untuk melengkapkan referensi tentang sejarah Sopo Guru Tatea Bulan, maka akan ditemukan perkampungan Siraja Batak. Lokasi perkampungan ini berada di perbukitan yang berada di atasnya dengan jarak yang tidak terlalu jauh sekali berkisar 500 meter.
Untuk kelengkapan perjalanan menuju Pusuk Buhit setidaknya harus berhenti sejenak di atas perbukitan yang berada di Desa Huta Ginjang. Mengapa? Karena dari lokasi ini akan terlihat jelas Pulau Tulas yang berdampingan dengan Pulau Samosir. Pulau Tulas itu sendiri tidak memiliki penghuni tetapi ditumbuhi dengan semak belukar dan hidup berbagai hewan liar lainnya.

Sudah lengkapkah perjalanan wisata kita! Tentulah belum, sebab untuk mengakhirinya kita harus berada di puncak Pusuk Buhit. Setidaknya untuk mendapatkan dan merasakan semilir angin sejuk di puncaknya sambil memandang panorama Danau Toba sesungguhnya. Sedangkan untuk menghilangkan keletihan dan mengambil semangat baru, pengunjung bisa menikmati air hangat setelah turun persis berada di kaki Pusuk Buhit bernama pemandian Aek Rangat yang berada di Desa Sihobung Hobungi. Setidaknya rasa lela dan semangat baru kembali datang.

Sumber http://www.sinarharapan.co.id

di 10.49 , 0 Comments

PODA BATAK

1. Pantun hangoluan tois hamagoan.
2. Seang do tarup ijuk soada langge panoloti, seang do sipaingot so adong na mangoloi.
3. Unang marhandang na buruk, unang adong solotan sogot, unang marhata na juruk unang adong solsolan marsogot.
4. Tinallik dulang tampak dohot aekna. Pinungka hata (ulaon) unang langlang di tagetna.
5. Unang sinuan padang di ombur-ombur, unang sinuan hata nagabe humondur-hondur.
6. Anduhur pidong jau sitangko jarum pidong muara, gogo sibahen na butong tua sibahen na mamora, roha unang soada.
7. Aek dalan ni solu sian tur dalan ni hoda, gogo mambahen butong, tua sibahen mamora.
8. Anduhur pidong toba siruba-ruba pidong harangan, halak na losok mangula jadian rapar mangan.
9. Anduhur pidong toba siruba-ruba pidong harangan, halak na padot mangula ido na bosur mangan.
10. Singke di ulaon sipasing di baboan, tigor hau tanggurung burju pinaboan-boan.
11. Pauk ni Aritonang pauk laho mangula, burju pinaboan-boan dongan sarimatua.
12. Hotang-hotang sodohon ansimun sibolaon, hata-hata sodohonon sitongka paboaboaon.
13. Handang niaithon na dsua gabe sada, niantan pargaiton unang i dalan bada.
14. Hori sada hulhulan bonang sada simbohan, tangkas ma sinungkun nanget masipadohan.
15. Ijuk di para-para hotang di parlabian, na bisuk nampuna hata na oto tu pargadisan.
16. Hotang do paninaran hadang-hadangan pansalongan.
17. Bogas ni Gaja Toba tiur do di jolo rundut do di pudi , bogas ni Raja Toba tiur do di jolo tota dohot di pudi.
18. Dang sibahenon dangka-dangka dupang-dupang, dang sibahenon hata margarar utang.
19. Sinuan bulu di parbantoan dang marganda utang molo pintor binahonan.
20. Sinuan bulu di parbantoan sai marganda do utang na so binahonan.
21. Niduda bangkudu sada-sada tapongan, sai marganda lompit do utang ia so jalo-jalo binahonan.
22. Manggual sitindaon mangan hoda sigapiton, tu jolo nilangkahon tu pudi sinarihon.
23. Langkitang gabe hapur, nahinilang gabe mambur.
24. Molo duri sinuan duri ma dapoton. Ia bunga sinuan bunga ma dapoton, ia naroa sinuan naroa ma dapoton.
25. Jolo marjabu bale-bale asa marjabu sopo, jolo sian na tunggane asa tu naumposo molo makkuling natunggane manangi ma naumposo.
26. Ingkon manat marpiu tali, ingkon pande marjalin bubu, ingkon manat mangula tahi, ingkon pande mangula uhum.
27. Masihurha manukna unang teal buriranna, masiajar boruna unang suda napuranna.
28. Tuit sitara tuit tuit pangalahona, natuit anak i mago horbona, molo natuit boru mago ibotona.
29. Siala il siala ilio, utang juma disingir di halak namalo, singir jadi utang di halak na so malo.
30. Magodang aek bila, ditondong aek hualu, mago sideak bibir dibahen pangalualu.
31. Santopap bohi sanjongkal andora, ndang diida mata alai diida roha.
32. Anduhur pidong jau sitapi-tapi pidong toba, binuat roha jau pinarroha roha toba.
33. Gala-gala nasa botohon , manang beha pe laga adong do hata naso boi dohonon.
34. Pir eme di lobongan ndang guguton, uli pe paniaran ni dongan ndang langkupon.
35. Ndang tuk-tuhan batu dakdahan simbora, ndang tuturan datu ajaran na marroha.
36. Songon parsege-sege so seang, sapala seang, seang dohot bota-botana.
37. Naihumarojor bola hudonna, naihumalaput tata indahanna.
38. Pege sangkarimpang halas sahadang-hadangan, rap mangangkat tu ginjang, rap manimbung tutoru halak namarsapanganan.
39. Tinutu gambiri angkup ni sera-sera, pinatonggor panaili, unang hu roha ni deba.
40. Unang songon parmahan ni sunggapa, dihuta horbona dibalian batahina, mago dibahen rohana pidom dibahen tondina.
41. Sitapi uruk sitapi dibalunde, tu dolok pe uruk tu toruan tong ene, ai aha so uruk sai jalo do pinaune-une.
42. Sinintak hotor-hotor, humutur halak-halak asing do timbang dongan asing timbang halak.
43. Mimbar tungkap ni tuak, mimbar do nang daina, muba laut, muba do ugarina. Muba dolok, muba duhutna, muba luat muba do uhumna.
44. 44 Manghuling bortung di topi ni binanga, adong do songon ogung sipatudu luhana.
45. Rigat-rigat ni tangan ndang laos rigathonon, rigat-rigat ni hata ndang laos ihuthononton.
46. Talaktak siugari, ibana mambahen, ibana mamburbari .
47. Hauma sitonang panjangkitan ni langkitang, sai pidom do jolma na olo marhilang.
48. Ndang tarhindat gaor-gaor ni hudon, ndang tarsoluk harajaon hasuhuton.
49. Tanduk ni ursa mardangka-dangka suhut di hasuhutonna raja marhata-hata.
50. Tanduk ni ursa margulu-gulu salohot benge. (na so dohot pe diboto aha namasa)
51. Pansur tandiang di rura ni aek puli, na pantun marroha/marina ido tiruan nauli.
52. Martaguak manuk di toruni bara ruma, napantun marnatoras, ido halak namartua.
53. Habang ambaroba paihut-ihut rura, sapala naung ni dohan, unang pinauba-uba.
54. Pasuda-suda arang so himpal bosi. (patua-tua daging pasuda-suda gogo.)
55. Holi-holi sangkalia, sai marhormat do langkani ama mida tangan ni ina.
56. Masuak ranggas di degehon Sinambela, molo tung i nama dibuat nasoala, nanggo torang diboto deba.
57. Bosi marihur tinopa ni anak lahi, matana tinallikkon tundunma mangonai
58. Dipangasahon suhulna do matana, dipangasahan matana do suhulna.
59. Ndang dao tubis sian bonana.
60. Pitu hali taripar di aek parsalinan, laos so muba do bolang ni babiat.
61. Somalna do peamna.
62. Hapalna mattat dok-dokna, dok-dokna mattat hapalna.
63. Unang martata ilik sada robean.
64. Gala gumal bulu andalu sangkotan ni bonang, asa monang maralohon musu, pinatalu roha maralohon dongan.
65. Garang-garang ni luatan nionjat tu harang ni hoda, molo marbada hula-hula, boruna mandabu tola. Molo marbada boru, hula-hula mandabu tola. Molo marbada anggi, hahana mandabu tola.
66. Unang patubi-tubi manuk pasalpu-salpu onan.
67. Unang dua hali tu aek natua-tua.
68. Hotang hotang sodohon ansimun sobolaon. Hata-hata sodohonon tongka sipaboa-boanan, guru ni hata naso dohonon, guru ni juhut naso seaton.

Penulis ; Bonar Siahaan

di 10.45 , 0 Comments