Semula, mungkin tidak percaya jika sebuah perahu kayu sederhana, mampu mengarungi lautan Samudra Hindia yang dikenal memiliki ombak besar. Adalah nelayan suku Bugis Makassar, yang dikenal sejak puluhan tahun silam sebagai pelaut ulung, mengarungi lautan luas Samudra Hindia menggunakan perahu kayu (perahu layar).
Suku asal Sulawesi Selatan ini memiliki catatan tersendiri dalam sejarah bahari, saat mengarungi ribuan kilometer lautan luas dari Indonesia hingga Madagaskar di Afrika Selatan, berabad-abad silam. Mereka memiliki keberanian dan kemampuan mengarungi lautan dengan perahu layar, antar pulau di Indonesia maupun samudra yang memiliki hentakan ombak besar untuk menjaring ikan maupun berdagang hasil bumi.
Pelayarannya dari Indonesia ke Madagaskar menggunakan perahu layar, sejauh ini tetap populer, yakni perahu kayu jenis pinisi. Perahu ini mencatatkan ketangguhannya dalam menembus dan mengarungi gelombang besar lautan Samudra Hindia yang jaraknya ribuan kilometer.
Suku Bugis Makassar yang merantau ke sana dengan menggunakan perahu jenis pinisi saat itu, kini keturunannya telah menjadi mukimin dan menjadi bagian komunitas warga Madagaskar.
Diperoleh catatan, selain perahu jenis pinisi yang dikenal tangguh, terdapat jenis perahu lain yang biasa dipergunakan nelayan Bugis. Perahu Pinisi sendiri, merupakan jenis perahu dagang yang memiliki ukuran paling besar (mampu memuat 20 sampai 100 ton) dibanding jenis-jenis perahu lainnya.
Jenis perahu ini mampu mengarungi dan menjelajah lautan besar. Memiliki dua tiang agung (sokoguru-red) dilengkapi masing-masing layar besar yang menjadi layar utama, ditambah layar kecil pada masing-masing puncak tiang agung. Sementara kemudinya, terpasang pada bagian belakang.
Pada abad silam, perahu jenis pinisi juga dipergunakan untuk mengangkut bala tentara. Namun tidak dipergunakan untuk perang laut. Pinisi sebagai perahu niaga, dipimpin oleh seorang ana`koda (nakhoda). Kemudian juru mudi, juru batu serta awak perahu yang disebut sawi.
Jenis perahu lainnya, adalah jenis Lambo Palari. Jenis ini lebih kecil dari pinisi, bobotnya (10-50 ton). Perbedaan lain dengan pinisi, Lambo hanya memiliki satu tiang agung dan layar utama, ditambah layar berlapis-lapis di bagian depan dan di puncak tiang agung. Jenis serupa Lambo Palari adalah Lambo Calabai.
Kemudian jenis perahu lainnya, yang ukurannya lebih kecil adalah jenis Jarangka, Soppe dan Pajala. Jenis-jenis perahu yang lebih kecil ini mempergunakan layar segi empat yang mampu bergerak lincah mengarungi lautan. Dipergunakan untuk mengangkut barang dagangan antar pulau sekitar Sulawesi Selatan, selain dipergunakan nelayan untuk menangkap ikan jauh ke tengah lautan. Awak perahu Pajala berbeda dengan perahu dagang. Perahu nelayan ini, dipimpin seorang punjala (pemimpin dan pengemudi perahu -red).
Perajin Tana Beru
Dari berbagai sumber catatan yang diperoleh mengenai pembuatan perahu pinisi menyebutkan, dewasa ini walau para pembuat kapal kayu motor sudah tersebar di pelosok nusantara, adalah perajin perahu di Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan pinisi. Di sinilah salah satu lokasi kemegahan pinisi dilahirkan.
Tana Beru banyak memproduksi kapal pinisi. Kapal yang sampai sekarang masih banyak dipakai untuk melayari laut nusantara. Para pembuat perahu tradisional disini, secara turun-temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya.
Sebuah upacara ritual biasa dilakukan untuk memulai sebuah proses pembuatan perahu.
Para perajin, sebelum memulai pekerjaannya, terlebih dahulu harus mencari hari atau waktu terbaik pencarian kayu sebagai bahan baku. Hari baik untuk mencari bahan baku, adalah pada hari kelima dan ketujuh pada bulan berjalan. Angka lima, diartikan rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka tujuh berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, kepala tukang, baru kemudian memimpin pencarian bahan baku (kayu).
Pohon yang akan ditebang juga tak boleh sembarangan. Sebelumnya harus digelar upacara khusus, bertujuan untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Untuk kebutuhan mengusir roh, seekor ayam dijadikan korban untuk dipersembahkan kepada roh. Pemotongan yang dikerjakan menggunakan gergaji, harus dilakukan sekaligus tanpa berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat.
Bila balok bagian depan (yang tidak dipergunakan) sudah putus, potongan itu harus dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala yang melambangkan suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedang potongan balok bagian belakang disimpan di rumah, sebagai lambang istri pelaut yang setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.
Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.
Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan memasukkan majun pada sela papan. Agar sambungan antarpapan merekat kuat, dipakai bahan perekat dari sejenis kulit pohon barruk. Kemudian dilakukan pendempulan. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran ini diaduk dan dibiarkan selama 12 jam. Untuk kapal berbobot 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal.
Setelah seluruh proses pembuatan selesai, proses terakhir kelahiran pinisi adalah peluncurannya. Saat peluncuran ini, digelar prosesi khusus. Misalnya, untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, prosesi khusus ditandai dengan memotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton ke atas, seekor sapi.
Pemasangan tiang dan layar, baru dilakukan setelah pinisi sudah mengapung di laut. Dan kapal yang diluncurkan ini sudah siap dengan awaknya.
Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang saat matahari sedang naik. Selain beberapa jenis perahu, juga terdapat alat (jaring) penangkap ikan yang sampai sekarang masih tetap dipergunakan nelayan Bugis. Perahu jenis pinisi, menjadi lambang keberanian anak bangsa dalam mengarungi lautan. Dalam abad 20 ini, pinisi kembali membuktikan ketangguhan melayari samudra, di antaranya mengikuti expo Vancouver di Kanada. Selain ekspedisi Amana Gappa, mengarungi Samudra Hindia menuju Madagaskar.
Sumber : www.pikiran-rakyat.com
Suku asal Sulawesi Selatan ini memiliki catatan tersendiri dalam sejarah bahari, saat mengarungi ribuan kilometer lautan luas dari Indonesia hingga Madagaskar di Afrika Selatan, berabad-abad silam. Mereka memiliki keberanian dan kemampuan mengarungi lautan dengan perahu layar, antar pulau di Indonesia maupun samudra yang memiliki hentakan ombak besar untuk menjaring ikan maupun berdagang hasil bumi.
Pelayarannya dari Indonesia ke Madagaskar menggunakan perahu layar, sejauh ini tetap populer, yakni perahu kayu jenis pinisi. Perahu ini mencatatkan ketangguhannya dalam menembus dan mengarungi gelombang besar lautan Samudra Hindia yang jaraknya ribuan kilometer.
Suku Bugis Makassar yang merantau ke sana dengan menggunakan perahu jenis pinisi saat itu, kini keturunannya telah menjadi mukimin dan menjadi bagian komunitas warga Madagaskar.
Diperoleh catatan, selain perahu jenis pinisi yang dikenal tangguh, terdapat jenis perahu lain yang biasa dipergunakan nelayan Bugis. Perahu Pinisi sendiri, merupakan jenis perahu dagang yang memiliki ukuran paling besar (mampu memuat 20 sampai 100 ton) dibanding jenis-jenis perahu lainnya.
Jenis perahu ini mampu mengarungi dan menjelajah lautan besar. Memiliki dua tiang agung (sokoguru-red) dilengkapi masing-masing layar besar yang menjadi layar utama, ditambah layar kecil pada masing-masing puncak tiang agung. Sementara kemudinya, terpasang pada bagian belakang.
Pada abad silam, perahu jenis pinisi juga dipergunakan untuk mengangkut bala tentara. Namun tidak dipergunakan untuk perang laut. Pinisi sebagai perahu niaga, dipimpin oleh seorang ana`koda (nakhoda). Kemudian juru mudi, juru batu serta awak perahu yang disebut sawi.
Jenis perahu lainnya, adalah jenis Lambo Palari. Jenis ini lebih kecil dari pinisi, bobotnya (10-50 ton). Perbedaan lain dengan pinisi, Lambo hanya memiliki satu tiang agung dan layar utama, ditambah layar berlapis-lapis di bagian depan dan di puncak tiang agung. Jenis serupa Lambo Palari adalah Lambo Calabai.
Kemudian jenis perahu lainnya, yang ukurannya lebih kecil adalah jenis Jarangka, Soppe dan Pajala. Jenis-jenis perahu yang lebih kecil ini mempergunakan layar segi empat yang mampu bergerak lincah mengarungi lautan. Dipergunakan untuk mengangkut barang dagangan antar pulau sekitar Sulawesi Selatan, selain dipergunakan nelayan untuk menangkap ikan jauh ke tengah lautan. Awak perahu Pajala berbeda dengan perahu dagang. Perahu nelayan ini, dipimpin seorang punjala (pemimpin dan pengemudi perahu -red).
Perajin Tana Beru
Dari berbagai sumber catatan yang diperoleh mengenai pembuatan perahu pinisi menyebutkan, dewasa ini walau para pembuat kapal kayu motor sudah tersebar di pelosok nusantara, adalah perajin perahu di Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan pinisi. Di sinilah salah satu lokasi kemegahan pinisi dilahirkan.
Tana Beru banyak memproduksi kapal pinisi. Kapal yang sampai sekarang masih banyak dipakai untuk melayari laut nusantara. Para pembuat perahu tradisional disini, secara turun-temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya.
Sebuah upacara ritual biasa dilakukan untuk memulai sebuah proses pembuatan perahu.
Para perajin, sebelum memulai pekerjaannya, terlebih dahulu harus mencari hari atau waktu terbaik pencarian kayu sebagai bahan baku. Hari baik untuk mencari bahan baku, adalah pada hari kelima dan ketujuh pada bulan berjalan. Angka lima, diartikan rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka tujuh berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, kepala tukang, baru kemudian memimpin pencarian bahan baku (kayu).
Pohon yang akan ditebang juga tak boleh sembarangan. Sebelumnya harus digelar upacara khusus, bertujuan untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Untuk kebutuhan mengusir roh, seekor ayam dijadikan korban untuk dipersembahkan kepada roh. Pemotongan yang dikerjakan menggunakan gergaji, harus dilakukan sekaligus tanpa berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat.
Bila balok bagian depan (yang tidak dipergunakan) sudah putus, potongan itu harus dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala yang melambangkan suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedang potongan balok bagian belakang disimpan di rumah, sebagai lambang istri pelaut yang setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.
Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.
Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan memasukkan majun pada sela papan. Agar sambungan antarpapan merekat kuat, dipakai bahan perekat dari sejenis kulit pohon barruk. Kemudian dilakukan pendempulan. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran ini diaduk dan dibiarkan selama 12 jam. Untuk kapal berbobot 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal.
Setelah seluruh proses pembuatan selesai, proses terakhir kelahiran pinisi adalah peluncurannya. Saat peluncuran ini, digelar prosesi khusus. Misalnya, untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, prosesi khusus ditandai dengan memotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton ke atas, seekor sapi.
Pemasangan tiang dan layar, baru dilakukan setelah pinisi sudah mengapung di laut. Dan kapal yang diluncurkan ini sudah siap dengan awaknya.
Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang saat matahari sedang naik. Selain beberapa jenis perahu, juga terdapat alat (jaring) penangkap ikan yang sampai sekarang masih tetap dipergunakan nelayan Bugis. Perahu jenis pinisi, menjadi lambang keberanian anak bangsa dalam mengarungi lautan. Dalam abad 20 ini, pinisi kembali membuktikan ketangguhan melayari samudra, di antaranya mengikuti expo Vancouver di Kanada. Selain ekspedisi Amana Gappa, mengarungi Samudra Hindia menuju Madagaskar.
Sumber : www.pikiran-rakyat.com
0 Comments to "Blog ini Di-link Dari Sini Blog ini Di-link Dari Sini Perahu Pinisi dari Tana Beru"