Fakta Unik: Kopi


Kayaknya, tidak akan lengkap memulai hari ini tanpa nyeruput apa yang namanya kopi. Kopi bukan lagi sebagai minuman penghilang rasa kantuk, namun sudah menjelma menjadi sebuah gaya hidup. Di mana-mana mulai menjamur kedai-kedai kopi ternama. Selain itu, produksi kopi mulai dijual dengan sachet yang sangat praktis. Tinggal dituang oleh air panas, maka jadilah minuman yang suedep untuk memulai hari.

Terlepas dari kandungan kafein yang bercokol di dalam secangkir kopi yang masih diperdebatkan, konsumsi masyarakat dunia terhadap jenis minuman yang tidak hanya hitam itu semakin meningkat. Total 6,7 juta ton kopi diproduksi dalam kurun waktu 1998-2000 saja. Diperkirakan pada tahun 2010, produksi kopi dunia akan mencapai 7 juta ton per tahun.

Biar tambah seru, berikut adalah sejumlah fakta unik yang patut kita ketahui:

1. Kopi yang tiap hari kita minum ternyata memiliki sejarah panjang. Sejarah kopi diawali dari cerita seorang penggembala kambing Abessynia (sekarang namanya Ethiopia) yang menemukan tumbuhan kopi sewaktu ia menggembala, kira-kira sekitar abad ke-9 masehi. Dari sana lalu menyebar ke daratan Mesir dan Yaman, dan kemudian pada abad 15 menjangkau lebih luas lagi ke Persia , Mesir, Turki dan Afrika utara. Namun ada yang mengatakan sejarah kopi ini berawal dari Abessynia juga, tapi lain cerita, di mana Ali al-Shadili yang gemar meminum sari biji kopi untuk membuatnya tetap terjaga demi menjalankan shalat malam. Dari sinilah akhirnya khasiat kopi menyebar sebagai minuman penghilang kantuk.
2. Mungkin kopi yang paling unik dan paling enak rasanya adalah kopi luwak. Konon kabarnya kopi yang asli dari Indonesia ini diperoleh dengan cara unik: biji kopinya diambil dari kotoran luwak --binatang sejenis kucing liar. Padahal kopi ini dihasilkan dari tanaman kopi biasa, hanya buah kopi yang sudah matang di pohonnya itu dimakan luwak. Yang menyebabkannya istimewa adalah insting luwak yang hanya memilih buah kopi terbaik untuk dimakan. Selain itu karena produksinya sangat sedikit dan rasanya selangit, maka harganya pun naudzubilah mahal nian. Bayangkan, harganya US$ 300 sampai US$ 600 per kilogram! Namun, tahukah Anda, ternyata kopi luwak itu keberadaannya saat ini sudah tidak eksis lagi. Ada banyak faktor, mulai dari berkurangnya lahan tanaman kopi hingga semakin berkurangnya satwa luwak di alam liar. Untuk itu, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (PPKKI) berupaya meningkatkan produksi kopi luwak dengan menangkarkan kembali luwak yang akan disebar di Kebun Percobaan Andungsari, Kabupaten Bondowoso.
3. Kopi ternyata tidak begitu saja menjadi salah satu minuman favorit dunia yang digemari. Awalnya di Italia, pendeta-pendeta melarang umatnya minum kopi dan menyatakan bahwa minuman kopi tersebut dimasukkan sultan-sultan muslim untuk menggantikan anggur. Bukan hanya melarang tetapi juga menghukum orang-orang yang minum kopi. Tidak hanya di Italia, di tahun 1656, Wazir dan Kofri, Kerajaan Usmaniyah, mengeluarkan larangan untuk membuka kedai-kedai kopi. Bukan hanya melarang kopi, tetapi menghukum orang-orang yang minum kopi dengan hukuman cambuk pada pelanggaran pertama. Di Swedia, konon Raja Gustaff II pernah menjatuhkan hukuman terhadap dua orang saudara kembar. Yang satu hanya diizinkan meminum kopi dan yang satu lagi diizinkan hanya nyeruput teh. Siapa yang terlebih dahulu mati, maka dialah yang bersalah dalam satu tindak pidana yang dituduhkan terhadap mereka. Ternyata yang mati duluan adalah peminum teh pada usia 83 tahun. Gara-gara itulah, masyarakat Swedia menjadi sangat tergila-gila dengan kopi, bahkan paling fanatik di dunia. Sehingga sampai sekarang negara-negara Skandinavia kini peminum kopi tertinggi per kapita di dunia. Setiap orang bisa menghabiskan 12 kg lebih per tahun.
4. Dulu awalnya, Indonesia merupakan pengekspor kopi terbesar dan terbaik di dunia. Dan tahukah Anda, hal itu terjadi sebelum tahun 1880-an, dimana pada tahun tersebut terjadi wabah hama karat daun yang memusnahkan kopi arabika yang ditanam di bawah ketinggian 1 km di atas permukaan laut, dari Sri Lanka hingga Timor. Brasil dan Kolombia akhirnya mengambil alih peran sebagai eksportir kopi arabika terbesar, sampai kini. Dan pada masa jaya itu, industri kopi di Jawa pernah berpameran di AS untuk memperkenalkan kopi, sehingga publik AS mulai mengenal kopi dan menjuluki minuman itu dengan nama Java.

Sumber: http://id.wikipedia.org/, http://www.tapanulicoffee.com/

Selasa, 11 Mei 2010 di 07.43 , 0 Comments

Blog ini Di-link Dari Sini Blog ini Di-link Dari Sini Makanan Termahal Di Dunia

1. Strawberries Arnaud
Kita tentunya tahu bahwa resep Strawberries Arnaud adalah es krim strawberry, dengan lemon dan anggur merah. Tapi strawberry di restoran Arnaud di News Orleans, Amerika, tidak hanya sekedar buah potong biasa. Bedanya adalah di toppingnya, berupa cincin berlian pink 4.7 karat yang pernah menjadi milik Sir Ernest Cassel, satu-satunya di dunia. Harga makanan ini? 14 Miliar Rupiah, kenapa? karena selain cincin eksklusif tadi, strawberry juga dihidangkan dengan minuman Charles X Crystal yang berharga 250 Juta Rupiah per botolnya. (hct/ari)

2. Cake Platinum.
Memang tidak banyak diproduksi, tapi cake seharga 1,3 Milyar ini tentunya tidak akan anda lewatkan dengan warna berkilau indahnya. Cake ini dibuat oleh Nobue Ikara, seorang pastry chef terkenal dari Jepang, sebagai penghargaan atas kaum wanita. Kue yang didedikasikan kepada wanita Jepang terkenal seperti Rinko Kikuchi dan Chie Kumazawa ini diharapkan agar mendorong kaum wanita untuk mau menggunakan perhiasan dari Platinum

3. Frrozen Haute Chocolate
Sampai sekarang sundae buatan Serendipity 3 selalu ini masuk sebagai sundae (es krim campuran) termahal di dunia, dengan harga mencapai 10 Juta Rupiah per porsi. Tapi kali ini, mereka benar-benar berusaha gila-gilaan. Frrozen Haute Chocolate seharga 250 Juta Rupiah ini adalah hasil kerjasama antara Serendipity 3 dan ahli pembuat perhiasan, Euphoria New York. Sundae ini adalah campuran dari 28 macam coklat, dan 14 di antaranya adalah coklat termahal dan paling eksotis di dunia.

Sundae ini juga mengandung 5 gram emas yang dapat dimakan dan juga ada gelang emas dengan berlian di dasar gelas. Bahkan, sundae ini dimakan khusus dengan sendok emas, dan beberapa butir berlian coklat dan putih, yang dapat anda simpan. Hati-hati saja, jangan sampai tertelan ya!

4. The Fortress Stilt Fisherman Indulgence
Makanan yang dibuat salah satu hotel di Sri Lanka ini berharga 145 Juta Rupiah. Makanan ini pernah menjadi makanan kedua paling mahal di dunia. Makanan ini juga tidak kalah nikmat dan menarik dibandingkan dengan makanan biasa. Makanan ini terdiri dari cassata daun emas, serta compote mangga dan delima. Makanan ini akan tampak biasa jika tidak diberi hiasan yang berupa pahatan coklat berbentuk seorang pemancing dan batu akuamarin dengan berat 80 karat


5. Macaroons Haute Couture
Untuk urusan makanan manis, Pierre Hermé adalah artis luar biasa. Dengan dua toko besar yang menjadi pusat pembuatan macaroons di Paris dan Tokyo, Pierre menampilkan satu lagi resep tambahan setiap perubahan musim (yang berarti empat dalam setahun, bukan dua atau banyak, Paris dan Tokyo kan tidak mengenal musim durian). Macaroons paling terkenal buatan mereka adalah meringue puff dengan bahan pilihan Anda sendiri! Berdasarkan bahan yang dipilih oleh pemesan, macaroon buatan Pierre dapat mencapai harga 70 Juta Rupiah per kilo.

6. Chocopologie
Chocopologie buatan Knipschildt ini dijamin akan memberikan pengalaman khusus kepada lidah anda. Toko coklat yang didirikan oleh Fritz Knipschildt pada 1999 menjual coklat truffle termahal di dunia, dengan harga sekitar 50 Juta Rupiah per kilo atau, 2,5 Juta Rupiah per buah. Coklat buatan Knipschildt ini hanya dijual berdasarkan pesanan, Anda dapat mengunjungi pembuatan coklat ini di 12 South Main Street Norwalk di Connecticut, Amerika, untuk dapat mencoba surga kecil berwarna coklat ini.

7. Truffle Putih
Truffle (semacam jamur) paling halus dan paling mahal di dunia adalah truffle putih atau truffle alba dari daerah Piedmont di Itali Utara. Satu kilo jamur mahal ini dapat berharga 5 Juta Rupiah. Jamur terbesar yang ditemukan di dunia sampai sekarang memiliki berat 1,5 kilo, dan dibeli oleh Stanley Ho, pemilik kasino Makau, dengan harga 33 Juta Rupiah

8. Cake Sultan
Cake yang hanya dihidangkan di Istana Ciragan di Istanbul, cake ini adalah cake dengan rasa paling menarik dan mewah yang dapat anda temui. Cake yang dibuat selama 72 jam ini berisi buah ara, quince (semacam jeruk) dan pir yang direndam dalam Rum Jamaika selama setidaknya dua TAHUN!. Topping cake ini dibuat dari karamel, truffle dan, dari gambarnya sudah dapat dilihat, lembaran emas yang dapat dimakan. Harganya? 10 Juta Rupiah!

9. Coklat Noka
Coklat buatan Noka ini dikenal sebagai salah satu coklat paling lembut dan nikmat di dunia. Dengan bahan berbagai coklat terbaik dari seluruh dunia dari negara seperti Venezuela, Ekuador dan Pantai Gading, coklat ini berharga 8,6 Juta Rupiah per setengah kilo. Bisa dibayangkan coklat dengan berbagai rasa dan aroma khusus menanti untuk membuat lidah anda menari!


10. Chocolate Variation
Harga berbagai macam coklat yang dihidangkan di Mezzaluna, restoran Italia di Lebua Hotel, Bangkok ini mencapai 5,4 Juta Rupiah. Makanan penutup mewah ini melibatkan lembaran emas yang dapat dimakan, sherbet sampanye dari champagne Roederer Cristal Brut 2000 dan crème brûlée. Rangkaian makanan manis ini ditutup dengan Truffle Perigord, Mousse Coklat Stoberi dan sepotong kue coklat.

Sumber : http://lostamast4.wordpress.com

Minggu, 02 Mei 2010 di 13.31 , 0 Comments

Blog ini Di-link Dari Sini Blog ini Di-link Dari Sini Tradisi dalam Sepotong Roti



Duduk di kedai sambil menyeruput kopi hitam atau teh panas, ditemani roti bakar sebagai cemilan, sudah menjadi kebiasaan lama masyarakat Singapura. Tradisi itu kini bahkan merambah sampai ke Jakarta. Adalah Yakun Kaya Toast, kedai kopi milik Loi Ah Koon yang menjual tradisi itu ke Jakarta. Bedanya dengan tempat minum kopi lainnya di Jakarta yang modern, kedai kopi milik orang Singapura ini mempertahankan kesederhanaan dalam konsep makanan, penataan ruang, dan peralatan dapur yang digunakan.

Kesederhanaan, misalnya, bisa dilihat dari menu yang ditawarkan. Untuk roti bakar ada enam menu, roti bakar tradisional, roti bakar gula mentega, roti bakar keju, roti bakar perancis dengan keju dan selai kaya, serta roti bakar es krim. Ada juga telur setengah matang, yang oleh orang Asia dipercaya mampu menambah stamina. Di daftar menu, telur setengah matang itu diberi nama soft-boiled eggs.

Cara memasak telur setengah matang ini ada tekniknya. Sebelum gerai dibuka, juru masak di Yakun Kaya Toast sudah lebih dulu merendam telur-telur ayam ras di dalam air panas selama 15 menit. Lantas bila ada yang memesan, telur yang sudah disiapkan di gerai tadi direndam lagi dengan air panas selama lima menit. Hasilnya, telur setengah matang yang tidak benar-benar kental. Saat disendok, telur itu meleleh di dalam mulut. Agar tidak terlalu amis, telur setengah matang bisa ditaburi lada, garam, dan kecap asin yang disediakan.

Tradisi yang sederhana ini ternyata mampu menarik perhatian pembeli. Buktinya, sebagian besar pengunjung yang datang ke kedai kopi itu, menurut Andreas Susanto, Head Supervisor Yakun Kaya Toast, memilih menu tradisional Yakun Kaya Toast, seperti roti bakar tradisional dan telur setengah matang.

Dan perlu diketahui, roti bakar tradisional ini isinya sederhana saja. Dua lapis roti karamel dipanggang selama lebih kurang satu menit, lalu diolesi selai kaya. Di tengah-tengah roti tadi diberi beberapa potongan kecil mentega. Hidangan ini lebih enak kalau disantap saat masih hangat. Kalau digigit terasa garing di luar, tetapi ada kelembutan di dalamnya. Selain itu, perpaduan rasa selai kaya yang manis dan mentega yang gurih sungguh tidak bisa terlupakan. Nyes...!

Selai Kaya
Selai kaya memang menjadi andalan utama Yakun Kaya Toast. Semua roti bakar di kedai itu selalu disajikan dengan selai kaya. Sebagian orang mengira selai kaya adalah selai yang terbuat dari buah srikaya. Namun, sebenarnya selai kaya ini terbuat dari santan, gula, dan telur yang dikocok halus lalu diberi aroma pandan. Bagi konsumen yang kurang puas menikmati selai kaya dalam sepotong roti, gerai Yakun Kaya Toast juga menyediakan kemasan di dalam botol. Anda bisa membawa pulang selai yang gurih ini setelah membayar Rp 88.000 per botol. Mereka juga menjual kopi bubuk dan teh dalam kemasan kantong.

Karena semua roti bakar disajikan dengan selai kaya, yang kemudian bisa membedakan satu roti bakar dengan lainnya adalah pelengkap selai kayanya. Ada roti bakar isi mentega, roti bakar isi gula dan mentega, serta roti keju. Ada juga roti bakar es krim dengan rasa stroberi, cokelat, dan durian. Yang membuat unik roti bakar Yakun Kaya Toast adalah roti karamel yang digunakan sebagai bahan dasar. Roti karamel ini dibuat dengan resep khusus keluarga Ah Koon, tetapi sudah bisa dibuat sendiri di Indonesia.

”Kami memiliki pemasok sendiri di Indonesia,” kata Andreas. Berbeda dengan roti tawar pada umumnya, roti karamel lebih padat. Namun, khusus untuk menu French toast, Yakun Kaya Toast menggunakan roti tawar yang empuk. Pertama, French toast dibakar, lalu di atasnya diberi keju jenis cheddar. ”Roti bakar yang enak bisa untuk memulai persahabatan hari ini.” Begitulah moto yang ditawarkan Yakun Kaya Toast untuk melayani calon pembelinya.

Moto itu dipakai generasi penerus Ah Koon untuk mengenang tradisi di kedai kopi. Pada masa lalu, ketika Ah Koon memulai berjualan kopi, teh, telur setengah matang, dan roti bakar di Telok Ayer Basin, Singapura, pada tahun 1944, pelanggannya datang dari berbagai kalangan, mulai dari kuli, pedagang, rentenir, polisi, dan seterusnya. Para pelanggan ini bisa ngobrol di kedai kopi Ah Koon sampai berjam-jam. Ada yang sekadar mengobrol ringan dengan teman sampai mengobrol urusan bisnis serius.

Tradisi ini tampaknya berlanjut di Yakun Kaya Toast. Pengunjung yang datang ke gerai Yakun Kaya Toast di mal juga betah duduk berlama-lama. Andreas mengamati, ada pelanggannya yang bahkan selalu datang pada pagi dan sore hari. Harga makanan dan minuman di Yakun Kaya Toast relatif murah. Aneka roti bakar itu dijual dengan harga Rp 13.000. Sementara untuk minuman harganya bervariasi antara Rp 11.000 dan Rp 15.000. Minuman yang ditawarkan memang hanya teh dan kopi. Variasinya pun tidak banyak, yaitu hanya teh/kopi asli atau teh/kopi dengan susu atau krim.

Konsep sederhana juga terlihat dari interior dan peralatan dapur yang digunakan. Kalau mau menilik ”dapur” Yakun Kaya Toast yang biasanya terletak di depan tempat penjualan, bisa dilihat teko-teko dengan corong panjang. Di atas teko ada saringan khusus untuk menyaring teh atau kopi yang akan disajikan. Teko-teko ini terbuat dari bahan baja antikarat. Alat untuk memanggang roti di situ juga sederhana saja, yaitu dengan meletakkan kawat baja antikarat ukuran besar di atas kompor gas. Kombinasi kesederhanaan dan selai kaya membuat orang betah berlama-lama di kedai kopi Ah Koon.

Sumber :http://travel.kompas.com

di 13.28 , 0 Comments

Blog ini Di-link Dari Sini Blog ini Di-link Dari Sini Belanja Bordir, Kebaya dan Manisan di Petisah

Pasar Petisah menjadi salah satu jantung perekonomian rakyat Medan. Meskipun Mal di Medan sudah banyak berdiri, tapi keberadaan pasar tradisional ini masih banyak digemari masyarakat.

Pasar yang terdiri dari dua lantai ini memang terbilang lengkap layaknya pasar tradisional di Jakarta. Yang membuat tidak terlalu semrawut lantaran parkiran mobilnya yang tidak terlalu padat. Pasar ini memang mudah dijangkau banyak angkutan umum yang siap mengantar Anda ke sini. Ketika kami berkunjung sebentar ke Pasar Petisah ini tak terlalu berkesan kumuh, lumayan nyaman jika Anda ingin membeli sesuatu di sini. Tak hanya kebutuhan pokok seperti sembako saja yang ada di sini, ternyata ada juga penjual bordir.

Jika Anda bermaksud untuk membuat pakaian kebaya untuk menghadiri pesta, Anda tak perlu repot-repot pergi ke butik ternama. Cukup datang ke Pasar Petisah ini tak hanya kebaya, bordir pun ada di siniDi pasar Petisah ini kita bisa menemukan berbagai macam kebutuhan, dari mulai sayur-mayur, ikan asin, sampai busana, dan perlengkapan elektronik. Barang-barang elektronik, pakaian jadi, dan furniture berada di lantai atas, sedangkan para penjual sayur dan buah-buahan berada di lantai bawah. Di pasar ini juga banyak yang menjual hasil kerajinan tangan khas Sumatra Utara seperti kalung, gelang, tas anyam, patung kayu dll. Untuk kerajinan bordir dan kebaya menempati lokasi di lantai satu dan beberapa berada di luar pasar dekat tempat parkir, sehingga cukup mudah dijangkau. Untuk kain kebaya, Anda bisa langsung membeli dengan aneka warna yang tersedia. Tapi jika Anda lebih menyukai mendesain model sendiri, di sini juga ada penjahit yang siap membuatkan baju sesuai ukuran badan Anda.Kebaya dan bordir yang ada di sini tak kalah cantiknya dengan yang ada di butik. Harganya yang terjangkau, dengan 300 ribu rupiah Anda sudah bisa menenteng kebaya dengan potongan yang pas di badan. Atau jika Anda lebih suka dengan membeli kain saja, di sana pun tersedia dengan beraneka warna sesuai selera. Tak hanya kain dan busana, taplak meja, bed cover, tirai juga dijual di sana. Harga satu buah bed cover berkisar di atas 1 jutaan.Jika Anda juga penggemar berat manisan buah di sini bisa Anda dapatkan manisan dari berbagai buah misalnya saja jambu biji, salak, mangga, kedondong dll. Biasanya manisan ini dijual perkilo, satu kilo jambu biji rata-rata Rp.12.000,-.

Tempat menjual manisan ini uniknya banyak di hinggapi oleh lebah, ternyata lebah-lebah ini memang akan diambil madunya, sangat multi fungsi. Manisan yang di tawarkan terbilang aman karena tanpa bahan pengawet. Jadi bila Anda datang ke Pasar Petisah tak lengkap rasanya jika tidak membeli manisan buah untuk oleh-oleh orang rumah.

Sumber : http://www.poetrina.com

di 13.25 , 0 Comments

Blog ini Di-link Dari Sini Blog ini Di-link Dari Sini Eksotisme Pulau Berlilitkan Adat

Tapis Pulau Pisang salah satu penanda hubungan marga pulau ini dengan marga Way Sindi. Adat, alam, dan kehidupan sehari-hari yang khas mengguratkan eksotisme pada Pulau Pisang. Begitu juga tapis.

Eksotisme Pulau Pisang tak juga hilang meski kini cengkih mulai jauh dari pulau ini. Pantai yang jernih, debur ombak, dan pasir putih adalah alam yang menebar keeksotisan pulau. Anak-anak kecil berlarian telanjang di pantai, bercengkerama lalu memecah ombak, adalah kehidupan bocah-bocah pantai yang jauh dari sergapan video game dan play station. Mereka berteriak ketika ada "orang asing" mendekat. Tak jarang mereka juga menutup muka lalu membalikkan badan telanjangnya ketika "orang asing" mengangkat kamera: Jpprreeet! Jpprreeet! Jpprreeet!!
Tak jauh dari pantai, ibu-ibu Pulau Pisang mengelilingi tumpukan ikan hasil tangkapan bapak-bapak Pulau Pisang, para suami. Tak jauh dari situ, asap mengepul dari bakaran arang. Gesang ikan-ikan segar menebar bau daging segar yang terbakar. Ibu-ibu Pekon Labuhan itu pun menguliti ikan-ikan yang berasap lalu memakannya. Nyam...nyam...nyaaam!

Pulau Pisang! Inilah Pulau Pisang; pulau seluas 2.310 hektare yang berada di Kecamatan Pesisir Utara, Lampung Barat. Pulau ini berpenduduk seribuan orang. Dulu, sebelum 1980, penduduk pulau ini lebih tiga ribu. Mereka tersebar di enam pekon: Labuhan, Lok, Sukadana, Pasar, Sukamarga, dan Bandardalam.


Pulau Pisang

Alam dan kehidupan warga Pulau Pisang adalah eksotisme itu sendiri. Di pulau kecil ini, kita bisa merasakan kekhasan hidup yang merujuk pada tata budaya Marga Pulau Pisang. Di pulau ini, warga enam desa hidup dalam keteraturan sosial yang merujuk pada konstruk budaya marga Way Sindi di Olokpandan.

Dikisahkan Zafrullah Khan gelar Dalom Kemala Raja, sebelum Inggris masuk Krui, marga Way Sindi yang tinggal di Olokpandan semakin besar. Saat itu, marga Way Sindi dipimpin Saibatin Pangeran Simbangan Ratu.

Pertambahan penduduk menuntut perluasan wilayah untuk tempat tinggal. Pangeran Simbangan Ratu pun memerintah Udin dari marga Tenumbang melihat kondisi Pulau Pisang. Dari survei itu, Udin melaporkan pada Saibatin kalau Pulau Pisang dapat dijadikan permukiman.
Rombongan marga Way Sindi masuk Pulau Pisang dipimpin Mail gelar Raja Pesirah gelar Pangeran Sangun Ratu. Ia anak kedua Pangeran Simbangan Ratu, adik Syatari gelar Raja Ya Sangun Ratu.

Pertama masuk pulau ini, rombongan Pangeran Sangun Ratu mendiami lamban balak di Pekon Lok. Mereka membuka kebun di kampung ini.

Pengembangan juga terjadi di pulau ini. Orang-orang pertama Pulau Pisang kemudian membangun empat pekon lagi: Bandardalam, Labuhan, Sukadana, dan Sukamarga. Akhirnya, pada 17 September 1922, Pulau Pisang mendapat otonomi dan berhak menyandang status marga sendiri, marga Pulau Pisang, yang lepas dari keturunan mereka di Olokpandan. Saibatin Way Sindi saat itu, Mohammad Djapilus gelar Dalom Simbangan Ratu yang memberi kuasa itu. Ia menunjuk Muhammad Fadel gelar Raja Kapitan sebagai saibatin marga Pulau Pisang yang pertama.

`Sinjang` Tapis
Salah satu tradisi Way Sindi yang dibawa ke Pulau Pisang adalah sinjang atau kain tapis. Kain berwarna dasar merah ini adalah ciri khas marga Way Sindi yang juga berkembang di Pulau Pisang.


Salah satu motif Kain Tapis

Dalam catatan sejarah yang dipegang Zafrullah, pada abad ke-12, saat Krui berada di bawah kekuasan Inggris, warga Way Sindi sudah terkenal sebagai pembuat tapis.

"Asal mula tapis Pulau Pisang mencontoh kain songket Palembang. Kain dasar itu diberi benang emas. Karena di masyarakat Pulau Pisang akrab dengan perahu, corak awal kain tapis di sini bermotif perahu," kata Zafrullah, Sabtu (13-1).

Beda di daerah Sukau. Masyarakat Sukau menjadikan gajah sebagai corak tapis. "Dulu kan di sana banyak gajah. Sampai sekarang corak sinjang tumpal tapis yang dipakai dalam setiap acara adat ada: kapal dan gajah," ujar Zafrullah.

Tapis mulai masuk bagian adat, ujar Zafrullah, pada pertengahan abad ke-19. Saat itu, tapis mulai dikembangkan di kawasan Krui. Pemakaian tapis diresmikan dengan prosesi ighau di Olokpandan sekitar tahun 1835.

Dari sini, kata Zafrullah, lahir aturan pemakaian tapis dalam setiap acara adat. "Tapis diselempangkan di bahu. Saibatin diselempangkan di bahu kiri, anak buah di kanan. Ini untuk membedakannya," ujar Zafrullah.

Sekarang warna dasar tapis terus berkembang. Tidak cuma merah, hitam kini jadi pilihan yang banyak digemari. (Minggu, 14 Januari 2007). AAN/HEN/M-1

Sumber : http://www.lampungpost.com

di 13.16 , 0 Comments

Blog ini Di-link Dari Sini Blog ini Di-link Dari Sini Perahu Pinisi dari Tana Beru

Semula, mungkin tidak percaya jika sebuah perahu kayu sederhana, mampu mengarungi lautan Samudra Hindia yang dikenal memiliki ombak besar. Adalah nelayan suku Bugis Makassar, yang dikenal sejak puluhan tahun silam sebagai pelaut ulung, mengarungi lautan luas Samudra Hindia menggunakan perahu kayu (perahu layar).

Suku asal Sulawesi Selatan ini memiliki catatan tersendiri dalam sejarah bahari, saat mengarungi ribuan kilometer lautan luas dari Indonesia hingga Madagaskar di Afrika Selatan, berabad-abad silam. Mereka memiliki keberanian dan kemampuan mengarungi lautan dengan perahu layar, antar pulau di Indonesia maupun samudra yang memiliki hentakan ombak besar untuk menjaring ikan maupun berdagang hasil bumi.

Pelayarannya dari Indonesia ke Madagaskar menggunakan perahu layar, sejauh ini tetap populer, yakni perahu kayu jenis pinisi. Perahu ini mencatatkan ketangguhannya dalam menembus dan mengarungi gelombang besar lautan Samudra Hindia yang jaraknya ribuan kilometer.

Suku Bugis Makassar yang merantau ke sana dengan menggunakan perahu jenis pinisi saat itu, kini keturunannya telah menjadi mukimin dan menjadi bagian komunitas warga Madagaskar.
Diperoleh catatan, selain perahu jenis pinisi yang dikenal tangguh, terdapat jenis perahu lain yang biasa dipergunakan nelayan Bugis. Perahu Pinisi sendiri, merupakan jenis perahu dagang yang memiliki ukuran paling besar (mampu memuat 20 sampai 100 ton) dibanding jenis-jenis perahu lainnya.

Jenis perahu ini mampu mengarungi dan menjelajah lautan besar. Memiliki dua tiang agung (sokoguru-red) dilengkapi masing-masing layar besar yang menjadi layar utama, ditambah layar kecil pada masing-masing puncak tiang agung. Sementara kemudinya, terpasang pada bagian belakang.

Pada abad silam, perahu jenis pinisi juga dipergunakan untuk mengangkut bala tentara. Namun tidak dipergunakan untuk perang laut. Pinisi sebagai perahu niaga, dipimpin oleh seorang ana`koda (nakhoda). Kemudian juru mudi, juru batu serta awak perahu yang disebut sawi.

Jenis perahu lainnya, adalah jenis Lambo Palari. Jenis ini lebih kecil dari pinisi, bobotnya (10-50 ton). Perbedaan lain dengan pinisi, Lambo hanya memiliki satu tiang agung dan layar utama, ditambah layar berlapis-lapis di bagian depan dan di puncak tiang agung. Jenis serupa Lambo Palari adalah Lambo Calabai.

Kemudian jenis perahu lainnya, yang ukurannya lebih kecil adalah jenis Jarangka, Soppe dan Pajala. Jenis-jenis perahu yang lebih kecil ini mempergunakan layar segi empat yang mampu bergerak lincah mengarungi lautan. Dipergunakan untuk mengangkut barang dagangan antar pulau sekitar Sulawesi Selatan, selain dipergunakan nelayan untuk menangkap ikan jauh ke tengah lautan. Awak perahu Pajala berbeda dengan perahu dagang. Perahu nelayan ini, dipimpin seorang punjala (pemimpin dan pengemudi perahu -red).

Perajin Tana Beru
Dari berbagai sumber catatan yang diperoleh mengenai pembuatan perahu pinisi menyebutkan, dewasa ini walau para pembuat kapal kayu motor sudah tersebar di pelosok nusantara, adalah perajin perahu di Tana Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan pinisi. Di sinilah salah satu lokasi kemegahan pinisi dilahirkan.

Tana Beru banyak memproduksi kapal pinisi. Kapal yang sampai sekarang masih banyak dipakai untuk melayari laut nusantara. Para pembuat perahu tradisional disini, secara turun-temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya.

Sebuah upacara ritual biasa dilakukan untuk memulai sebuah proses pembuatan perahu.
Para perajin, sebelum memulai pekerjaannya, terlebih dahulu harus mencari hari atau waktu terbaik pencarian kayu sebagai bahan baku. Hari baik untuk mencari bahan baku, adalah pada hari kelima dan ketujuh pada bulan berjalan. Angka lima, diartikan rezeki sudah di tangan. Sedangkan angka tujuh berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, kepala tukang, baru kemudian memimpin pencarian bahan baku (kayu).

Pohon yang akan ditebang juga tak boleh sembarangan. Sebelumnya harus digelar upacara khusus, bertujuan untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Untuk kebutuhan mengusir roh, seekor ayam dijadikan korban untuk dipersembahkan kepada roh. Pemotongan yang dikerjakan menggunakan gergaji, harus dilakukan sekaligus tanpa berhenti. Itu sebabnya untuk melakukan pemotongan harus dikerjakan oleh orang yang bertenaga kuat.

Bila balok bagian depan (yang tidak dipergunakan) sudah putus, potongan itu harus dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala yang melambangkan suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedang potongan balok bagian belakang disimpan di rumah, sebagai lambang istri pelaut yang setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.

Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.

Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan memasukkan majun pada sela papan. Agar sambungan antarpapan merekat kuat, dipakai bahan perekat dari sejenis kulit pohon barruk. Kemudian dilakukan pendempulan. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran ini diaduk dan dibiarkan selama 12 jam. Untuk kapal berbobot 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal.

Setelah seluruh proses pembuatan selesai, proses terakhir kelahiran pinisi adalah peluncurannya. Saat peluncuran ini, digelar prosesi khusus. Misalnya, untuk perahu dengan bobot kurang dan 100 ton, prosesi khusus ditandai dengan memotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton ke atas, seekor sapi.

Pemasangan tiang dan layar, baru dilakukan setelah pinisi sudah mengapung di laut. Dan kapal yang diluncurkan ini sudah siap dengan awaknya.

Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang saat matahari sedang naik. Selain beberapa jenis perahu, juga terdapat alat (jaring) penangkap ikan yang sampai sekarang masih tetap dipergunakan nelayan Bugis. Perahu jenis pinisi, menjadi lambang keberanian anak bangsa dalam mengarungi lautan. Dalam abad 20 ini, pinisi kembali membuktikan ketangguhan melayari samudra, di antaranya mengikuti expo Vancouver di Kanada. Selain ekspedisi Amana Gappa, mengarungi Samudra Hindia menuju Madagaskar.

Sumber : www.pikiran-rakyat.com

di 13.14 , 0 Comments

Blog ini Di-link Dari Sini Blog ini Di-link Dari Sini Perubahan Ekspresi Konsep Natah dalam Tata Ruang di Bali

Abstrak
Natah merupakan suatu istilah umum untuk menyatakan suatu halaman di tengah-tengah suatu lingkungan terbangun seperti: rumah, desa maupun kota. Artikel ini didasarkan atas observasi terhadap 30 rumah, 25 desa dan 23 pusat kota baik tipe tradisional maupun modern. Natah di dalam rumah terbentuk oleh adanya bangunan-bangunan rumah yang mengelilinginya, natah di dalam suatu desa terbentuk oleh sederetan rumah-rumah penduduk dan fasilitasnya sedangkan natah dalam suatu kota terbentuk oleh pusat kota dengan fasilitasnya. Natah memiliki tiga fungsi utama yaitu: sosial, ritual dan lingkungan. Pengertian natah merupakan media pertemuan antar unsur akasa (langit) yang bersifat purusa (jantan) dan unsur pretiwi (bumi) yang bersifat pradana (betina) dan juga sebagai pusat orientasi masa bangunan dan pusat orientasi sirkulasi. Dengan adanya perkembangan pembangunan dan teknologi terjadi perubahan-perubahan pada natah baik dari segi bentuk, fungsi maunpun makna yang terkandung di dalamnya.

Kata Kunci: bentuk, fungsi dan makna.

Abstract
Natah is a common term to express a main space at the center of a built environment such as a house, a village, and a town. This article is based on the observation of about 30 houses, 25 villages, and 23 civic centres of both from traditional type and modern type. Natah in a house is formed by the setting of building masses surround it, natah in a village is formed by dwelling and public facilities, and natah in a town is formed by a civic centre and a number of urban facilities. Natah has three main functions: social, ritual, and environmental. The meaning of a natah is as a media allowing the encounter of the sky (male character-purusa) and the earth (female character – pradana) and acting as the center of both building masses orientation and human circulation orientation. According to the development of the community, changes are also occur on the form, function, and the meaning of natah.

A. Pendahuluan
Natah, merupakan satu istilah dalam bahasa Bali yang umum dipakai untuk menyatakan suatu halaman di tengah-tengah suatu rumah yang dikelilingi oleh masa-masa bangunan. Kata natar juga untuk menunjukkan suatu yang serupa dengan natah, namun lazim digunakan untuk menunjukkan suatu halaman tengah yang terbentuk oleh pelinggih -pelinggih yang ada di suatu tempat peribadatan umat Hindu seperti di pura dan di pamerajan (Jiwa, 1992: 41). Pada hakekatnya arti dan pengertian konsep natah dan natar adalah sama, yakni sama-sama merupakan ruang luar yang terbentuk oleh bangunan yang mengelilinginya dalam suatu lingkungan tertentu. Natah untuk istilah umum di masyarakat, sedangkan natar berkonotasi bahasa yang lebih halus atau lebih kuna.

Beranjak dari pengertian tersebut, maka dalam kenyataan lapangan dengan adanya berbagai tingkatan lingkungan, dapat pula ditemukan berbagai tingkatan natah tersebut. Masing-masing tingkatan telah bervariasi mulai dari yang sempurna sampai yang bersahaja. Berikut akan dibahas tiga tingkatan natah yaitu natah dalam rumah tinggal, natah desa, dan natah suatu kota yang akan dikaji berdasarkan pendekatan budaya dengan melihat aspek-aspek bentuk, fungsi, dan makna yang dikandungnya.

B. Natah Rumah
1. Bentuk Natah Rumah
Natah dalam rumah masyarakat Hindu di Bali dataran sangat jelas terbentuk oleh adanya bangunan-bangunan yang mengelilinginya. Karena bangun dasar masa¬masa yang membentuknya pada dasarnya persegi empat maka bangun dasar natah rumah juga persegi empat. Natah sebagai ‘ruang luar tengah’ tidak terbentuk secara sempurna karena ada penerusan-penerusan keruang luar bawahannya yang terjadi karena jarak antar bangunan satu dengan yang lainnya. Dalam peraturan pembangunan tradisional Bali (Asta Bumi), natah dapat terbentuk sebagai akibat dari proses penentuan letak dari masing-masing masa bangunan dengan dasar hitungan astawara dan dipilih pada hitungan yang sesuai dengan fungsi bangunan: sri untuk lumbung, indra untuk bale dangin, guru untuk bale meten/daja terhadap sanggar kemulan, yama untuk pengijeng karang, ludra untuk bale dauh, brahma untuk dapur, kala untuk penunggun karang, dan uma untuk jarak bale daja ke tembok pekarangan. Cara lain untuk menetukan ukuran natah rumah adalah dengan menentukan secara langsung dimensi natah dalam dua sumbu misalnya sumbu utara¬selatan dan sumbu timur-barat. Penetuan dimensi langsung ini pada dasarnya dibedakan menjadi dua cara: cara pertama melalui hitungan langsung dan berhenti pada jatuh hitungan yang baik dan sesuai dengan cita-cita kepala keluarga penghuni rumah; cara kedua adalah dengan menetapkan hitungan standar 15 tampak (tapak kaki/feet) kemudian ditambah hitungan sesa yang dipilih sesuai dengan harapan kepala keluarga penghuni rumah. Semua jenis penetapan dimensi ditambah dengan suatu pengurip yang besarnya a tampak ngandang atau seukuran dengan lebar melintang tapak kaki.

Sejalan dengan perkembangan zaman, telah terjadi pula perkembangan tuntutan akan ruang, kemajuan teknologi, dan pengaruh budaya asing. Di lain pihak ketersediaan lahan semakin terbatas dengan kemampuan daya beli yang tidak dapat menyeimbangi, maka terjadi pula perubahan-perubahan pola masa bangunan yang menimbulkan variasi-variasi baru dalam bangun dasar natah rumah. Dari jumlah masa minimal secara tradisi berjumlah empat, berubah menjadi tiga, dua, bahkan satu.

Dalam suatu natah umumnya terdapat bangunan palinggih untuk pengijeng karang atau penunggun karang. Fungsi natah adalah untuk melakukan kegiatan upacara yang berkaitan dengan butha yadnya seperti mecaru; berkaitan dengan manusa yadnya seperti mabyakala atau juga untuk prosesi upacara pernikahan; berkaitan dengan pitra yadnya seperti prosesi menyucikan jenazah dan roh manusia. Fungsi sosialnya adalah untuk penerimaan tamu yang berkaitan dengan upacara atau perayaan. Fungsi kesehatannya adalah penyediaan ruang terbuka untuk mempermudah memperoleh sinar matahari, penerangan, udara segar, dan lain¬lainnya.

2. Fungsi Natah Rumah
Makna Natah Rumah
Secara filosofis, natah merupakan media pertemuan antar unsur akasa (langit) yang bersifat purusa (jantan) dan unsur pretiwi (bumi) yang bersifat pradana (betina). Setiap pertemuan kedua unsur ini menghasilkan cakal bikal suatu bibit kehidupan, dan di tataran ini adalah kehidupan keluarga. Natah dengan statusnya seperti itu menjadi unsur penting yang sentralistrik dalam tatanan suatu rumah sehingga berperan sebagi pusat orientasi masa bangunan dan pusat orientasi sirkulasi. Dari natah ini pula diberikan nama-nama zona dalam rumah dan nama-nama bangunan sesuai dengan arah mata angin.

C. Natah Desa
1. Bentuk Natah Desa
Suatu lingkungan yang lebih makro dari rumah adalah desa memiliki elemen-elemen lingkungan desa yang terdiri atas antara lain, rumah-rumah penduduk, fasilitas pelayanan publik dan prasarana. Suatu halaman desa terbentuk oleh elemen-elemen ini. Analog dengan natah yang ada di suatu rumah maka suatu ruang di tengah desa yang terbentuk oleh sederetan rumah-rumah penduduk yang berada di sisi kiri dan kanannya. Desa-desa tradisional di Bali umumnya berpola linier sehingga bentuk ‘natah’ desa ini juga umumnya memanjang menurut orientasi kaja – kelod. Natah desa ini bisa berwujud suatu margi agung atau bisa berwujud suatu ruang komunitas yang di dalamnya terdapat bangunan-bangunan fasilitas desa.

Dalam desa tradisional dijumpai dua tipe bentuk natah. Yang pertama, natah desa yang betul-betul kosong tanpa bangunan seperti banyak dijumpai pada desa-desa tradisional dari masa Bali Pertengahan. Yang kedua, natah dengan berbagai bangunan fasilitas umum desa yang dijumpai dalam desa-desa peninggalam masa Bali Kuna seperti Tenganan, Bugbug, dan Timrah. Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya akibat pengaruh diterapkannya konsep catusptha untuk pusat suatu kota tradisional pada masa kerajaan Bali Pertengahan, maka beberapa desa memiliki dua tipe natah yaitu margi agung dan pempatan

Keterangan
= Natah Desa
p = Pura
r = Perumahan
s = Setra
f = Fasilitar Desa

2. Fungsi Natah Desa
Fungsi natah desa ini, pada dasarnya sama dengan natah rumah namun skalanya lebih besar. Di natah desa ini dilakukan berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Fungsi sosial natah desa seperti berkomunikasi, rekreasi, sampai jual beli. Sedangkan fungsi religiusnya berupa kegiatan-kegiatan adat/keagamaan dalam berbagai bentuk yadnya seperti pecaruan, prosesi keagamaan berkaitan dengan dewa yadnya dan prosesi berkaitan dengan pitra yadnya. Dari aspek tata ruang, natah desa merupakan ruang terbuka untuk umum yang berperan sebagia paru-paru desa. Dalam beberapa kasus di Bali seperti di desa-desa Tenganan, Bugbug, dan Timrah sangat jelas di natah desa ini terdapat bangunan-bangunan umum dan keagamaan seperti, bale banjar, bale desa, pura desa, bale agung, lumbung desa, dan lain-lain.

3. Makna Natah Desa
Natah desa juga memiliki makna yang serupa dengan natah rumah yaitu secara filosofis merupakan media perpaduan antara unsur akasa dan unsur pretiwi, dan sebagai tempat manusia berorientasi untuk menemukan objek yang dituju dan menjadi orientasi aksesbilitas ke rumah¬rumah penduduk dan ke fasilitas umum.

Natah Kota
1. Bentuk Natah Kota
Natah dalam kota-kota tradisional pada masa kerajaan di Bali berada pada suatu simpang empat di tengah-tengah kota yang merupakan tempat kedudukan fasilitas utama kota seperti puri sebagi fasilitas pusat kekuasaan pemerintahan, pasar, bencingah puri dengan fasilitas bale wantilan, dan terdapat pula ruang terbuka hijau kota (Gambar 3). Simpang empat dengan kondisi seperti di atas lazim disebut catuspatha. Sedangkan kata ‘catuspatha’ berasal dari bahasa sanskerta yang berarti empat jalan atau simpang empat. Natah kota seperti ini belum sah sebagai pusat kerajaan sebelum diresmikan melalui suatu proses ritual pemelaspasan atau pemasupatian.

Dalam perkembangan zaman, sejak masa kolonial Belanda, pusat catuspatha yang pada masa kerajaan merupakan ruang kosong sebagai natah kota mulai dibanguni dengan elemen estetika kota ataupun tanda pengenal lingkungan (Gambar 4). Misalnya, di catus patha kota Denpasar dibangun lonceng, dan kemudian pada masa republik diubah menjadi patung caturmuka yang dirasakan lebih berbudaya Bali. Perlakuan catuspatha di Denpasar ini nampaknya menjadi barometer kemajuan, sehingga beberapa catuspatha lainnya di Bali juga dibanguni patung seperti di Semarapura, Bangli, dan Mengwi. Patung di Mengwi terakhir sudah dibongkar kembali. Dalam budaya Barat natah suatu kota lazim berupa lapangan atau alun-alun. Pembangunan alun-alun dan dibangunnya patung di pusat catuspatha memperkuat kecenderungan berpindahnya fungsi catuspatha ke alun-alun )

Fungsi Natah Kota
Natah kota tradisional pada masa kerajaan dalam catuspatha difungsikan sebagai halaman untuk penyelenggaraan upacara tawur yang secara periodik dilakukan setiap tahun, pada Hari Tilem Kesanga. Secara insidentil, catuspatha difungsikan sebagai tempat melakukan kegiatan ritual seperti ngulapin, nebusin, ngelawang, dan lain-lain. Dalam prosesi upacara ngaben secara tradisi dilakukan pemutaran bangunan usungan jenazah (bade) di pusat catuspatha ini. Kegiatan-kegiatan seperti di atas dapat dilakukan dengan baik bila pusat catuspatha masih dalam kondisi kosong. Setelah ada bangunan di tengah catuspatha mulai ada gangguan fungsi karena sarana upacara yang semestinya berada di pusat catuspataha tidak lagi dapat ditempatkan di pusat. Bahkan, kegiatan tawur ada yang berpindah ke tempat lain, misalnya ke alun-alun.

3. Makna Natah Kota
Simpang empat menyiratkan suatu tapak dara ( + ). Suatu tapak dara menyimbolkan alam semesta, jagat raya atau jagat dan juga simbol penangkal kejahatan agar selamat (Donder, 2001: 15-16). Di lain pihak, suatu simpang empat juga merupakan perpotongan dua sumbu: utara–selatan dan timur – barat. Perpotongan sumbu merupakan titik ‘nol’ atau windu yang melambangkan kekosongan. Kekosongan atau windu juga menyimbolkan alam semesta. Dalam lontar Eka Pratamaning Brahmana Sakti Bujangga disebutkan bahwa sumbu utara– selatan merupakan sumbu nilai dan sumbu timur–barat merupakan sumbu kehidupan dan kematian atau kemajuan dan kemunduran. Dari pusat catuspataha ditentukan letak pusat kekuasaan/puri. Di timur laut bernilai utama, sedangkan di barat daya bernilai werdi atau sejahtera. Karena nilai ini, puri umumnya mengambil posisi di timur laut atau di barat daya, sedangkan perletakan di tenggara dan barat laut masing-masing bernilai gni murub dan gni astra yang beresiko kepanasan dan kehancuran.

Daftar Pustaka
Agung, Ida Anak Agung Gde. 1989. Bali Pada Abad XIX. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Belo, Jane. 1970. Traditional Balinese Culture. New York: Columbia University Press.

Budihardjo, Eko. 1995. Architectural

Conservation in Bali. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Covarrubias, Miguel. 1956. Bali: With an Album of Photografs by Rose Covarrubias. New York: Alfred A. Knopf.

Dinas Pekerjaan Umum Dati I Bali. 1984. Rumusan Arsitektur Bali. Denpasar: Pemda Tk. I Bali. Tidak dipublikasi.

Donder, I Kt. 2001. Panca Dathu: Atom, Atma dan Animisme. Surabaya: aramita.

Dumarcay, Jacques. 1991. The Palaces of South- East Asia: Architecture and Customs. Terjemahan Michael Smithies. New York: Oxford University Press.

Frick, Heinz. 1988. Arsitektur dan Lingkungan.Yogyakarta: Kanisius.

Gegevens. 1906. Gegevens de Zelfstandige Rijkes op Bali. Batavia: andsdrukkerij.

Geertz, Clifford 1980. Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton: Princeton University Press.


Heine-Geldern, Robert. 1982. Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. Jakarta: CV Rajawali.

Jiwa, I. B. N. 1992. Kamus Bali Indonesia: Bidang Istilah Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar: Upada Sastra

Kagami, Haruya. 1988. Balinese Traditional Architecture in Process. Inuyama: Litle World Museum of Man.

Kaler, I Gusti Ketut. 1982. Butir-butir Tercecer tentang Adat Bali. Jilid 2. Denpasar: Bali Agung.

Lembaran Daerah Propinsi Dati I Bali. 1977. Peraturan Daerah Propinsi Dati I Bali Tentang: Tata Ruang untuk Pembangunan, Lingkungan Khusus, dan Bangun-bangunan. Denpasar: Pemda Tk I Bali.

Nordholt, H. Schulte. t.t. Bali: Colonial Conceptions and Political Change 1700-1940, from Shifting Hierarchies to ‘Fixed Order’. Casp 15.

1991. State, Village and Ritual in Bali: A Historical Perspective. Amsterdam: VU University Press.

Pager, I Gusti Ngurah (penyadur). Tanpa tahun. Prasasti Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga. Tidak dipublikasi.

Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.1994. Himpunan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hiindu- XV. Tidak dipublikasi.

Putra Agung, A.A.G. 1996. Peralihan Sistem Birokrasi Kerajaan Karangasem 1890-1938. Disertasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasi.

Putra, I Gusti Made dkk. 1985. “Nilai-nilai Tata Letak Bangunan dalam Rumah Tradisional Bali”. Denpasar: Pusat Penelitian UNUD.

1998. Kekuasaan dan Transformasi Arsitektur. Tesis Magister Universitas Udayana.

Salya, Yuswadi. 1975. Spatial Concept in Balinese Traditional Architecture; Its Possibilities for Futher Development. University of Hawaii Thesis, Honolulu. Tidak dipublikasi.

Semadi Astra dkk. 1986. Kamus Sanskerta¬Indonesia. Denpasar: Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Pemda Tk. I Bali. Tidak dipublikasi.

Sidemen, Ida Bagus. 1986. Struktur Birokrasi dan Mobilitas Sosial di Kerajaan Gianyar 1856 - 1899. Tesis S2. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasi.

Sidemen, Ida Bagus dkk. 1992. Sejarah Badung. Denpasar: Pemda Tingkat II Badung.

Singgih Wikarman, I N. 1998. Caru: Pelemahan dan Sasih. Surabaya: Paramita.

Suamba, Ida Bagus Putu. 1995. Agni Purana. Denpasar: Upada Sastra

Suandra, I Made. 1996. Tuntunan/Tatacara Ngwangun Karang Paumahan Manut Smreti Agama Hindu. Denpasar: Upada Sastra.

1996. Keputusan Sanghyang Anala. Denpasar: Upada Sastra.

Tan, Roger Yong Djiet. 1967. Description of the Domestic Architecture of South Bali. M.A. Thesis Yale University, Yale. Dalamm B.K.I. 123-4:pp. 442- 475.

Tim Penelitian Inventarisasi Pola-pola Arsitektur Tradisional Bali. 1979. Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar: Bappeda Tingkat I Bali. Tidak dipblikasi.

Wertheim, W.F. cs. (editors). 1960. Bali:

Stdies in Life, Thought, and Ritual. Slected Studies on Indonesia, Vol. V. Hague and Bandung: W. van Hoeve Ltd.

Wiryomartono, A. Bagus P. 1995. Seni Bangunan dan Seni Bina Kota di Indonesia: Kajian Mengenai Konsep, Struktur, dan Elemen Fisik Kota sejak Peradaban Hindu- Buddha, Islam Hingga Sekarang. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Wojowasito, S. t.t. Kamus Kawi Indonesia. Tanpa kota: CV. Pengarang.

Yuda Triguna, I B. G. 2000. Teori tentang Simbol. Denpasar: Widya Dharma.

Terjemahan Lontar Bidang Arsitektur
L.01.T., Darmaning Hasta Kosala (Gedong Kertya No. 361), asal Marga, Tabanan. Terjemahan I Ketut Gunarsa, Koleksi BIC Bali.

L.02.T., Hasta Bumi (Gedong Kertya No. 243), asal Abian Semal, Badung. Terjemahan I Ketut Gunarsa, koleksi BIC Bali.

L.03.T., Hasta Kosali (Gedong Kertya No. 231), asal Uma Abian, Marga Tabanan. Terjemahan I Ketut Gunarsa, koleksi BIC Bali.

L.04 T., Hasta Kosala-Kosali, asal A.A. Alit, Malkangin, Tabanan. Terjemahan N. Gelebet, koleksi BIC Bali.

L.05.T., Hasta Kosali , asal Grya Taman, Sanur. Terjemahan N Gelebet, koleksi BIC Bali.
L.06 T., Asta Patali, asal Br. Lenganan, Bajra. Terjemahan Ketut Suwija, BA., koleksi BIC Bali.

Sumber : http://ejournal.unud.ac.id
Oleh : I Gusti Made Putra

di 13.07 , 0 Comments

Blog ini Di-link Dari Sini Blog ini Di-link Dari Sini Kubu/Orang Rimba


Penyebaran
Salah satu komunitas masyarakat tradisional yang tinggal di kawasan TNBT adalah orang Kubu atau "Orang Rimba". Mereka masih hidup nomaden atau berpindah-pindah di belantara hutan Bukit Tigapuluh. Sebagian besar mereka menempati kawasan TNBT di wilayah Propinsi Jambi yang mempunyai kelerengan cenderung lebih datar.

Suku Kubu yang ada di TNBT berasal dari kelompok besar di TN. Bukit Dua Belas. Karena hutan di sekitar Bukit Duabelas telah terfragmentasi akhirnya kelompok suku ini mencari sumber daya hutan hingga ke kawasan TNBT. Selain itu kepindahan suku Kubu dari Bukit Duabelas ke wilayah ini juga akibat melanggar adat atau istilah mereka "keno campok adat" sehingga diharuskan pergi dari wilayah Bukit Duabelas. Orang Rimba/Kubu pada umumnya berada di sebelah selatan Bukit Tigapuluh. Ada juga kelompok yang bermigrasi ke wilayah bagian utara dan barat Bukit Tigapuluh di wilayah propinsi Riau.

Pandangan rimba sebagai tempat hidup mereka melekat kuat pada perilaku keseharian, seperti kebiasaan berburu, meramu makanan, mengumpulkan hasil hutan dan berladang. Kegiatan berburu merupakan pola ekonomi subsistensi yang berimplikasi pada hubungan sosial, hal ini terlihat dari kebiasaan pendistribusian daging hasil berburu yang dikelola oleh pihak perempuan di mana hasil buruan akan didistribusikan kepada seluruh anggota kelompoknya. Kegiatan meramu hasil hutan menjadi perekonomian subsistensi mereka.

Cara hidup berburu dan meramu dan di samping kegiatan berladang menunjukkan bahwa masyarakat ini sangat bergantung sekali dengan lingkungan hutan, sebagai tempat tinggal dan sumber penghidupan mereka

Selain itu Orang Rimba juga menganggap hutan merupakan tempat hidup yang paling aman, karena dengan hidup di dalam hutan mereka dapat melakukan berbagai kegiatan keseharian mereka tanpa terganggu oleh pengaruh dari luar. Upaya ini sejalan dengan usaha mereka mempertahankan pola kebiasaan yang membedakan mereka dengan kelompok masyarakat lainnya.

Rasa aman dalam hutan, menjadi faktor pendorong bagi Orang Rimba untuk tetap memilih kehidupan dalam hutan, rasa aman ini terutama dimaksudkan sebagai perumpamaan perlindungan bagi perempuan dan anak-anak mereka.

Perempuan mempunyai peran penting dalam kehidupan Orang Rimba sebagai pemilik dan pendistribusi sumber daya dalam keluarga. Peran perempuan sebagai pemilik dan pendistribusi sumber daya tersebut merupakan alasan laki-laki untuk selalu melindungi perempuan dengan memberikan rasa aman bagi perempuan terutama dari gangguan yang mungkin timbul dari kehadiran pihak luar, sehingga timbul kesan bahwa perempuan Orang Rimba tidak mempunyai peran yang dominan dalam kehidupan sosial mereka.

Interaksi dengan pihak luar yang umumnya dilakukan oleh laki-laki Orang Rimba, berkaitan dengan aktivitas ekonomi mereka. Di mana laki-laki berkewajiban mencari hasi hutan dan menjualnya ke pasar dengan perantara toke. Peran toke di sini menghubungkan Orang Rimba dengan aktivitas ekonomi pasar. Dalam aktivitas ekonomi pasar, baik toke maupun Orang Rimba berada dalam pola saling ketergantungan yang lebih menguntungkan toke.

Toke berperan sebagai pihak yang membiayai kegiatan pencarian hasil hutan. Biaya yang dikeluarkan toke selama pencarian harus dibayar dalam bentuk hasil hutan oleh Orang Rimba, namun dengan situasi hutan sekarang di mana kesediaan hasil hutan sudah berkurang maka Orang Rimba terjerat hutang kepada toke.

Orang Rimba/Kubu di Bukit Tigapuluh berbeda secara signifikan dengan Talang Mamak dan Melayu. Suku ini juga hidup dari mengumpulkan hasil hutan dan menjualnya ke luar, dan sebagian melakukan perladangan berpindah. Mereka ini mempunyai areal untuk berpindah-pindah yang cenderung mereka lindungi untuk mencari sumberdaya liar sebagai pemburu pengumpul. Ketika membuka hutan untuk perladangan berpindah, mereka cenderung melindungi daerah ini sebagai camp untuk persediaan makanan daripada membuka lahan baru.

Budaya

Ada beberapa budaya yang sangat menarik seperti:

* tradisi mencari hasil hutan : jernang, rotan, damar, dan lain-lain.
* tradisi berburu : untuk memebuhi protein orang kubu berburu bai, ngaui, kancil, rusa dan ular.

Kegiatan ini sangat menarik jika bisa dijadikan objek dalam kegiatan ekoturisme di TNBT. Namun yang paling sulit adalah menemukan posisi/tempat kelompok Orang Rimba.

Sesudungon yaitu tempat berteduh/rumah sederhana berukuran 2x2 dan beratap daun atau plastik. Sesudongan ini sangat erat kaitannya dengan kehidupan nomaden dan beberapa budaya seperti "melangun".

Melangun adalah tradisi berpindah lokasi tinggal jika ada keluarga yang meninggal. Mereka akan meratap dan meninggalkan semua harta benda tidak bergerak untuk beberapa waktu, bisa 2 hingga lima tahun.

Orang Rimba juga memiliki konsep dan pembedaan diri dengan orang di luar mereka. Mereka menyebut dirinya sebagai Orang Rimba yang memiliki makna orang di dalam hutan dan tidak mau bercampur dengan orang Melayu atau di luar orang Rimba. Hal ini karena adanya anggapan bahwa orang Melayu/orang di luar Rimba akan membawa penyakit bagi mereka. Sehingga Orang Rimba sampai saat ini tidak mau hidup bercampur dengan orang di luar rimba. Namun interaksi dengan orang Melayu telah berlangsung lama terutama untuk menukarkan hasil-hasil dari hutan dengan kebutuhan dari luar mereka seperti gula, tembakau dan beras. Orang Rimba juga memantangkan makanan yang berasal dari luar karena makanan dari luar dianggap mendatangkan penyakit, hal ini juga sesuai dengan sistem kesehatan yang berlaku bagi Orang Rimba.

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kebudayaan akan berdinamika, saat ini ada beberapa kelompok Orang Rimba di TNBT yang sudah menetap layaknya orang Melayu dan Talang Mamak yaitu kelompok Becukai, mengadaptasikan sebahagian adat dengan suku Talang Mamak yang lebih dahulu hidup di Dusun Semerantihan.

Sumber : http://www.bukit30.org

di 12.59 , 0 Comments

Blog ini Di-link Dari Sini Blog ini Di-link Dari Sini Tongkonan, Rumah Adat Toraja


Rumah Toraja di tengah alam yang permai.


Deretan lumbung padi.



Ukiran pada lumbung padi.

Rumah asli Toraja disebut Tongkonan, berasal dari kata ‘tongkon‘ yang berarti ‘duduk bersama-sama‘. Tongkonan selalu dibuat menghadap kearah utara, yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Berdasarkan penelitian arkeologis, orang Toraja berasal dari Yunan, Teluk Tongkin, Cina. Pendatang dari Cina ini kemudian berakulturasi dengan penduduk asli Sulawesi Selatan.

Tongkonan berupa rumah panggung dari kayu, dimana kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atap tongkonan berbentuk perahu, yang melambangkan asal-usul orang Toraja yang tiba di Sulawesi dengan naik perahu dari Cina. Di bagian depan rumah, di bawah atap yang menjulang tinggi, dipasang tanduk-tanduk kerbau. Jumlah tanduk kerbau ini melambangkan jumlah upacara penguburan yang pernah dilakukan oleh keluarga pemilik tongkonan. Di sisi kiri rumah (menghadap ke arah barat) dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih, sedangkan di sisi kanan (menghadap ke arah timur) dipasang rahang babi.

Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (‘bangah‘) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.

Dalam paham orang Toraja, tongkonan dianggap sebagai ‘ibu‘, sedangkan alang adalah sebagai ‘bapak‘. Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta membina kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian utara, tengah,dan selatan. Ruangan di bagian utara disebut ‘tangalok‘, berfungsi sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur, juga tempat meletakkan sesaji. Ruangan bagian tengahdisebut ‘Sali‘, berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, tempat meletakkan orang mati, juga dapur. Adapun ruangan sebelah selatan disebut ‘sumbung‘, merupakan ruangan untuk kepala keluarga. Ruangan sebelah selatan ini juga dianggap sebagai sumber penyakit.

Mayat orang mati tidak langsung dikuburkan, tetapi disimpan di tongkonan. Sebelum dilakukan upacara penguburan, mayat tersebut dianggap sebagai ‘orang sakit‘. Supaya tidak busuk, mayat dibalsem dengan ramuan tradisional semacam formalin, yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang. Jika akan dilakukan upacara penguburan, mayat terlebih dulu disimpan di lumbung padi selama 3 hari. Peti mati tradisional Toraja disebut ‘erong‘, berbentuk babi untuk perempuan dan kerbau untuk laki-laki. Untuk bangsawan, erong dibuat berbentuk rumah adat.

di 12.52 , 0 Comments



Penduduk Lampung terdiri dari hampir semua suku yang ada di Indonesia. Gambaran ini ditunjukkan oleh semboyan yang tertera pada lambang daerah yaitu “Sang Bumi Ruwai Jurai”, dan Propinsi Lampung sendiri dijuluki Propinsi “Sang Bumi Ruwai Jurai”. “Sang Bumi” berarti rumah tangga agung yang luas serta berbilik-bilik, sedangkan "Ruwa Jurai” berarti dua golongan masyarakat yang berdiam di wilayah Propinsi Lampung, yaitu golongan keturunan Lampung asli dan golongan keturunan pendatang.

Penduduk Lampung asli terdiri dari masyarakat Lampung beradat Pepadun dan masyarakat Lampung beradat Saibatin (Peminggir) . Sedangkan pendatang adalah mereka yang umumnya berasal dari Jawa dan Bali yang bertransmigrasi sejak jaman Belanda. Namun kini pendatang itu tidak hanya dari Jawa dan Bali saja, tetapi hampir segala suku yang ada di Indonesia ada di propinsi ini .

Arsitektur tradisional Lampung umumnya terdiri dari bangunan tempat tinggal disebut Lamban, Lambahana atau Nuwou, bangunan ibadah yang disebut Mesjid, Mesigit, Surau, Rang Ngaji, atau Pok Ngajei, bangunan musyawarah yang disebut sesat atau bantaian, dan bangunan penyimpanan bahan makanan dan benda pusaka yang disebut Lamban Pamanohan

Rumah orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan berjajar sepanjang jalan utama yang membelah kampung, yang disebut tiyuh. Setiap tiyuh terbagi lagi ke dalam beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat berdiam buway . Bangunan beberapa buway membentuk kesatuan teritorial-genealogis yang disebut marga. Dalam setiap bilik terdapat sebuah rumah klen yang besar disebut nuwou menyanak. Rumah ini selalu dihuni oleh kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin keluarga.

Arsitektur lainnya adalah “lamban pesagi” yang merupakan rumah tradisional berbentuk panggung yang sebagian besar terdiri dari bahan kayu dan atap ijuk. Rumah ini berasal dari desa Kenali Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat.. Ada dua jenis rumah adat Nuwou Balak aslinya merupakan rumah tinggal bagi para Kepala Adat (penyimbang adat), yang dalam bahasa Lampung juga disebut Balai Keratun. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu Lawang Kuri (gapura), Pusiban (tempat tamu melapor) dan Ijan Geladak (tangga "naik" ke rumah); Anjung-anjung (serambi depan tempat menerima tamu), Serambi Tengah (tempat duduk anggota kerabat pria), Lapang Agung (tempat kerabat wanita berkumpul), Kebik Temen atau kebik kerumpu (kamar tidur bagi anak penyimbang bumi atau anak tertua), kebik rangek (kamar tidur bagi anak penyimbang ratu atau anak kedua), kebik tengah (yaitu kamar tidur untuk anak penyimbang batin atau anak ketiga).

Bangunan lain adalah Nuwou Sesat. Bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan adat tempat para purwatin (penyimbang) pada saat mengadakan pepung adat (musyawarah). Karena itu balai ini juga disebut Sesat Balai Agung. Bagian bagian dari bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan atap). Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan (serambi yang digunakan untuk pertemuan kecil, pusiban (ruang dalam tempat musyawarah resmi), ruang tetabuhan (tempat menyimpan alat musik tradisional), dan ruang Gajah Merem ( tempat istirahat bagi para penyimbang) . Hal lain yang khas di rumah sesat ini adalah hiasan payung-payung besar di atapnya (rurung agung), yang berwarna putih, kuning, dan merah, yang melambangkan tingkat kepenyimbangan bagi masyarakat tradisional Lampung Pepadun.

Arsitek tradisinoal Lampung lainnya dapat ditemukan di daerah Negeri Olokgading, Teluk Betung Barat, Bandar Lampung. Negeri Olokgading ini termasuk Lampung Pesisir Saibatin .Begitu memasuki Olokgading kita akan menjumpai jajaran rumah panggung khas Lampung Pesisir, dan di sanalah kita akan melihat Lamban Dalom Kebandaran Marga Olokgading, yang menjadi pusat adat istiadat Marga Balak Olokgading. Bangunan ini berbahan kayu dan di depan rumah berdiri plang nama bertuliskan “Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak Lampung Pesisir”. Bentuknya sangat unik dan khas dengan siger besar berdiri megah di atas bangunan bagian muka .



Sampai sekarang lamban dalom ini ditempati kepala adat Marga Balak secara turun temurun.

Meskipun berada di perkotaan, fungsi rumah panggung tidak begitu saja hilang. Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak berfungsi sebagai tempat rapat, musyawarah, begawi, dan acara-acara adat lain. Di Lamban Dalom ini ada siger yang berusia ratusan tahun, konon sudah ada sebelum Gunung Krakatau meletus. Siger yang terbuat dari bahan perak ini adalah milik kepala adat dan diwariskan secara turun temurun. Siger ini hanyalah salah satu artefak atau peninggalan budaya yang sudah ratusan tahun usianya disimpan oleh Marga Balak. Selain siger ada juga keris, pedang, tombak samurai, kain sarat( kain khas Lampung Pesisir seperti tapis), terbangan( alat musik pukul seperti rebana), dan tala(sejenis alat musik khas Lampung sejenis kulintang) dan salah satunya dinamakan Talo Balak.

di 12.44 , 0 Comments

Mengenal sejenak Rumah Adat Karo Suku Karo mendiami daerah bagian utara Propinsi Sumatera Utara, terutama di daerah tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hu


Mengenal sejenak Rumah Adat
Karo Suku Karo mendiami daerah bagian utara Propinsi Sumatera Utara, terutama di daerah tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, dan sebagian Dairi. Sebagian besar orang Karo masih hidup di desa-desa yang disebut kuta. Kuta merupakan kesatuan territorial yang dihuni oleh penduduk dari beberapa merga (klen) yang berbeda. Dalam kuta terdapat dua atau lebih deretan rumah adat. Namun, sekarang tidak semua kuta memiliki rumah adat. Di beberapa tempat kita masih dapat menemukan rumah adat Karo yang sudah berusia ratusan tahun diantaranya di desa Lingga, Dokan dan Peceren. Rumah Adat Karo terkenal karena keunikan teknik bangunan dan nilai sosial-budayanya. Rumah adat Karo memiliki konstruksi yang tidak memerlukan penyambungan. Semua komponen bangunan seperti tiang, balik, kolom, pemikul lantai, konsol, dan lain-lain tetap utuh seperti aslinya tanpa dilakukan penyerutan ataupun pengolahan. Pertemuan antarkomponen dilakukan dengan tembusan kemudian dipantek dengan pasak atau diikat menyilang dengan ijuk untuk menjauhkan rayapan ular. Bagian bawah, yaitu kaki rumah, bertopang pada satu landasan batu kali yang ditanam dengan kedalaman setengah meter, dialasi beberapa lembar sirih dan benda sejenis besi. Rumah adat Karo berbentuk panggung dengan dinding miring dan beratap ijuk. Letaknya memanjang 10-20 meter dari timur ke barat dengan pintu di kedua jurusan mata angin itu. Posisi bangunan Rumah Adat Karo biasanya mengikuti aliran sungai yang ada di sekitar desa. Pada serambi muka terdapat semacam teras dari bambu yang disusun yang disebut ture.

Nilai Kepercayaan dalam Pembangunan Rumah Adat Karo
Sebelum membangun rumah, orang Karo mengadakan musyawarah dengan teman satu rumah mengenai besar, tempat, dan hal-hal lain. Waktu membersihkan dan meratakan tanah ditentukan oleh guru (dukun) untuk mendapatkan hari yang baik. Ketika akan mengambil kayu ke hutan mereka kembali menanyakan hari yang baik untuk menebang pohon kepada guru. Sebelum menebang kayu guru akan memberi persembahan kepada penjaga hutan agar jangan murka terhadap mereka karena kayu itu dipakai untuk membangun rumah. Dalam proses pembangunan mulai dari peletakan alas rumah selalu ada ritual yang dibuat agar pembangunan rumah tersebut diberkati oleh yang maha kuasa dan agar tidak tejadi hal-hal yang buruk. Setelah rumah selesai dibangun masih ada ritual yang diadakan. Guru dan beberapa sanak keluarga yang membangun rumah akan tidur di rumah baru itu sebelum rumah itu ditempati. Mereka akan memimpikan apakah rumah tersebut baik untuk dihuni atau tidak. Waktu memasuki rumah baru biasanya diadakan kerja mengket rumah mbaru (pesta memasuki rumah baru). Pesta ini menunjukkan rasa syukur atas rumah baru tersebut kepada saudara-saudara dan kepada yang maha kuasa. Dalam pesta ini ada acara makan bersama dengan para kerabat, kenalan, dan orang-orang sekampung. Lalu, acara dilanjutkan dengan acara ngerana (memberi kata sambutan dan petuah-petuah) oleh pihak-pihak yang berkompeten seperti: Kalimbubu, Anak beru, dan Senina. Dalam pesta ini juga biasanya ada acara tepung tawar untuk rumah baru. Guru akan menepungtawari bagian-bagian tertentu dari rumah. Tujuannya ialah agar segala yang jahat keluar dari rumah dan yang baik tinggal dalam rumah untuk membuat para penghuni rumah bisa bahagia menempati rumah tersebut. Acara lain yang kadang dibuat adalah gendang. Gendang ini bertujuan untuk mengusir hal-hal jahat yang masih tinggal di dalam rumah tersebut. gendang tersebut juga menunjukkan rasa gembira dan syukur bersama warga sedesa.

Nilai Kepercayaan dalam Bentuk Bangunan Rumah Adat Karo
Struktur bangunan rumah adat Karo terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagai dunia atas, badan rumah sebagai dunia tengah, dan kaki sebagai dunia bawah, yang dalam bahasa Karo disebut Dibata Atas, Dibata Tengah, dan Dibata Teruh (Allah Atas, Allah Tengah, dan Allah Bawah). Pembagian anatomi rumah adat Karo menggambarkan: dunia atas tempat yang disucikan, dunia tengah tempat keduniawian, dan dunia bawah tempat kejahatan sehingga layak untuk tempat binatang piaraan, yang dalam kepercayaan suku Karo dikuasai oleh Tuhan Banua Koling. Penguasa yang jahat dipuja dan dihormati agar tidak mengganggu kehidupan manusia. Dalam pembangunan rumah adat, hal yang terpenting adalah prosesnya yang sakral dibandingkan segi fisiknya. Hal ini tampak mulai dari penentuan tapak/lahan, pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk pendirian rumah, pemasangan atap sampai memasuki rumah. Kesemuanya dilakukan melalui upacara-upacara ritual dengan kerbau sebagai korban. Upacara-upacara ini menunjukkan kepercayaan yang besar orang Karo akan kekuasaan yang melebihi kekuatan manusia.

Nilai Kebersamaan dari Rumah Adat Karo
Suatu rumah adat biasanya dihuni oleh empat atau delapan bahkan sampai enam belas keluarga batih (jabu), yang masih terikat hubungan kekerabatan secara patrilineal. Penempatan jabu di dalam rumah diatur menurut ketentuan adat. Inilah yang menjadi kekhasan rumah adat Karo bila dibandingkan dengan rumah adat lain. Jumlah anggota keluarga ini berkaitan dengan tungku masak di dalam rumah. Tiap tungku digunakan oleh dua keluaga sehingga dua keluarga biasanya memakan makanan yang sama. Ini juga menjadi keunikan yang menunjukkan kebersamaan dalam Rumah Adat Karo. Kegembiran atau kesusahan satu anggota keluarga menjadi kegembiran seluruh penghuni rumah adat. Dan lewat perayaan-perayaan hidup seperti membangun rumah, pesta tahunan, kerja di ladang, pernikahan, kelahiran anak, dan kematian tampaklah kebersamaan itu semakin hidup.

di 12.27 , 0 Comments